🐺 Kho Ping Hoo Suling Emas Pdf

EbookCerita Silat Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 "Penginapan Candi di Muntilan," Tandu Wiryo memberitahu CERITA SILAT Oleh : Robot Siansu serangan serentak pada pintu masuk dan pintu samping kediaman Kira dengan kekuatan penuh SERIAL BU KEK SIAN SU (13) SULING NAGA Kho Ping Hoo ini sangat populer di Indonesia ukuran 36x26cm ukuran Bks17 pusaka pulau es bagian 2 Pusaka Pulau Es ( Serial Bu Kek Siansu #17 ) € (Bagian 2 – Tamat) € € € Oleh € Asmaraman S. Kho Ping BeliProduk Kho Ping Hoo Suling Emas Berkualitas Dengan Harga Murah dari Berbagai Pelapak di Indonesia. Tersedia Gratis Ongkir Pengiriman Sampai di Hari yang Sama. PedangKeramat (Thian Hong Kiam) Tiga Dara Pendekar Siauw Lim. Rajawali Lembah Huai. Gian Kiam Gi To (Maling Budiman Berpedang Perak) Ouw Bin Hiap Kek (Pengemis Tua Aneh/Pendekar Muka Buruk) Liong San Tung Hiap (Pendekar Tongkat dari Liongsan) Kun Lun Hiap Kek (Nona berbaju hijau) Pendekar Bunga Merah. Iameninggal pada tanggal 22 Juli 1994 karena serangan jantung. Kho Ping Hoo adalah kakek dari drummer Club 80's, Deddy Mahendra Desta. Tokoh ciptaan!Artikel utama untuk bagian ini adalah: Tokoh cerita silat karya Kho Ping Hoo Daftar karya Serial Bu Kek Sian Su (無極先師) Bu Kek Sian Su (1973)* Suling Emas(金笛子) (1968) Cinta Bernoda freee book kho ping hoo jinungn blogspot com, blog dummy kho ping hoo, kho ping hoo nian gallery, pedang kayu harum cersil online karya kho ping hoo, dunia kang ouw asmaraman s kho ping hoo, pustaka cersil kho ping hoo, kho ping hoo bagoesga s weblog, komik silat kho ping hoo, serial raja pedang pendekar buta, free download serial kho ping hoo LiteraturFiksi silat karya A.S. Kho Ping Hoo ini sangat populer di Indonesia. Cerita berlatar belakang Tionghoa ini boleh dibilang melegenda sampai sekarang. Alur ceritanya sangat menarik disisipi filsafat-filsafat kehidupan, sehingga pembacanya merasa tidak bosan dan mengikuti terus alur cerita sampai akhir. Suling Emas & Naga Siluman Hebatpertandingan itu dan diam-diam Kwee Seng harus mengakui bahwa selama hidupnya, baru kali ini ia menemui tanding yang luar biasa kuatnya. Bahkan harus i April14th, 2019 - KARYA ASMARAMAN S KHO PING HOO Serial Bu Kek Siansu Suling Emas 01 BKS01 BuKek Siansu Jilid 1–24 Tamat 02 BKS02 Suling Emas Jilid 1–35 Tamat PKH05 Pendekar Sadis Jilid 1–42 Tamat 06 PKH06 Harta Karun Jengis Khan Jilid 1–6 Tamat 07 PKH07 Siluman Gua Tengkorak Jilid 1–5 Tamat OHGGz. SUARA BANDUNG - Di tengah prahara rumah tangga Deddy Mahendara Desta dan Natasha Rizky, jarang orang tahu bahwa Desta adalah cucu dari penulis fiksi silat legendaris, Kho Ping Hoo. Kabar terkait fakta Desta adalah cucu Kho Ping Hoo kembali disentil oleh salah satu warga Twitter senjatanuklir pada hari Senin 5/6/2023. Melalui cuitannya, pemilik akun yang sering membagikan utas bersejarah tentang Negeri Tiongkok itu memaparkan fakta bahwa Kho Ping Hoo adalah kakek dari Desta. "Di era Orde Baru, cerita silat karyanya mjd salah satu dr sedikitnya sumber bacaan bertema Tiongkok utk Tionghoa-Indonesia. Salah satu cucunya, kita kenal dengan nama Desta.," cuit senjatanuklir sembari melampirkan foto Kho Ping Hoo dan beberapa potret karyanya, seperti dikutip pada hari Selasa 6/6/2023. Baca JugaBongkar Aksi Licik Si Kembar Bernilai Fantatis, PPATK Desak 21 Bank Blokir Rekening Rihana-Rihani Berdasarkan cuitannya, dikatakan bahwa serial komik silat karya Kho Ping Hoo berjumlah sekitar 112-118. "Penulis fiksi silat, Kho Ping Hoo , menulis sekitar 112-118 judul cerita silat.," tulisnya di awal cuitan. Melihat hal itu, warganet lain yang tidak mengetahuinya nampak tak percaya. "Bener ga ko ping ho ini kakeknya desta ?," tanya Savvytr**** di kolom komentar. Sementara itu ada pula yang merasa komik Kho Ping Hoo sudah melekat pada persona Desta. Baca JugaLink DANA Kaget Hari Ini, Jangan Sampai Kelewatan! "Pokoknya kalo nama beliau disebut yang gue inget pasti desta wkwk," tulis perked****. * loading... Kho Ping Hoo, Suling Emas Tiba-tiba Lu Sian berhenti menangis dan dengan kaget ia mengangkat muka mendengarkan. Suara yang-khim yang amat merdu bergema di dalam hutan itu. sejenak ia tertegun, timbul kemarahannya. Siapakah berani mengganggu keasyikannya berduka? Dia sedang berduka, sedang menangis, eh, orang itu berani membunyikan musik. Bukankah suara yang-khim tanda orang bersuka dan seakan-akan mengejeknya yang sedang berduka? Sama artinya dengan mentertawakan orang sedang menangis. Tok-siauw-kwi menjadi beringas dan sekali tubuhnya bergerak, ia sudah melesat ke arah suara, cepat laksana burung terbang. Pemain yang-khim itu seorang kakek tua renta yang rambutnya sudah putih semua. Kakek itu duduk bersila memangku sebuah alat musik yang-khim, jari-jari kedua tangannya bergerak-gerak perlahan memainkan tali-tali yang-khim, mulutnya tersenyum dan pandang matanya melayang jauh ke depan dan agaknya seperti hendak menjenguk rahasia di balik awan. Melihat cara kakek ini mainkan yang-khim, Lu Sian dapat menduga bahwa kakek ini tentulah seorang berilmu tinggi dan tak salah lagi tentulah seorang di antara tokoh-tokoh kang-ouw yang selama ini mengejar-ngejar dan memusuhinya. Lebih baik turun tangan lebih dulu sebelum kakek itu sempat menyerangnya, ia pikir. Karena ingin sekali pukul beres, Lu Sian sudah mengeluarkan jarum-jarum merah Sian-tok-ciam dan dengan pengerahan tenaga sin-kang ia melemparkan jarum-jarum itu ke arah kakek tua renta yang masih enak-enak main yang-khim. Dengan jelas Lu Sian melihat betapa tujuh batang jarum-jarumnya mengenai sasaran dengan tepat dan lenyap memasuki tubuh kakek itu melalui jalan darah yang diarahnya. Akan tetapi ia terbelalak heran melihat betapa kakek itu masih saja enak-enak mainkan yang-khim, hanya kedua matanya kini dipejamkan dan napasnya tertahan. Tak lama kemudian, uap putih mengepul dari ubun-ubun kepalanya yang sudah berambut putih, disusul dengan uap putih yang keluar dari mulut dan hidungnya ketika kakek itu membuang napas dan... dari dalam mulut kakek itu keluarlah tujuh batang jarum merahnya, runtuh dan jatuh berhamburan di dekat yang-khim! Lu Sian tak pernah dapat percaya kalau tidak menyaksikan sendiri hal aneh ini. Ilmu apakah yang dimiliki kakek itu? Tadi ia melihat jelas betapa jarum-jarumnya mengenai sasaran dengan tepat! Lu Sian menjadi kaget dan juga gelisah. Kalau kakek ini seorang musuh, berarti ia kini bertemu dengan seorang yang memiliki kesaktian luar biasa! Dan teringatlah ia akan peringatan yang keluar dari mulut puteranya tadi! Agaknya kali ini ia takkan menang, dan benarkah maut akan menjemput nyawanya melalui tangan kakek yang bermain yang-khim ini? Tidak, ia tidak boleh menerima kalah begitu saja! Dengan penuh kegeraman hati Lu Sian melompat dekat dan kini ia menggunakan kedua tangannya berbareng melakukan pukulan maut ke arah kedua pundak kakek tua renta itu. Pukulan ini akan menghanguskan jantung dan menghancurkan isi dada dan untuk melakukan ini, kedua tangan Lu Sian mengeluarkan asap hitam dan seakan-akan membara saking panasnya. Dua pukulan yang dahsyat itu tepat mengenai sasarannya, di kedua pundak dekat leher kakek tua renta. Akan tetapi kakek itu masih tetap enak-enak duduk mainkan yang-khim sedangkan Lu Sian terhuyung-huyung ke belakang seperti orang mabok. Kedua tangannya tadi jelas mengenai sasaran, akan tetapi semua tenaganya seperti disedot ke dalam samudra yang tak berdasar, membuat ia kehilangan keseimbangan, bahkan akibatnya ia merasa dirinya kosong sama sekali! ia bengong memandang kakek itu yang jelas mulai tampak terkena akibat pukulannya. Kulit kakek itu dari pundak terus sampai ke leher dan mukanya berubah hitam sekali, penuh hawa beracun dari pukulannya tadi. Akan tetapi mulut itu masih tersenyum dan kini sepasang mata yang bening seperti mata kanak-kanak memandangnya penuh perasaan iba! Kemudian terdengarlah nyanyian kakek itu diiringi suara yang-khim. "Kejahatan yang dilakukan terhadap seorang tak berdosa akan berbalik menimpa si dungu yang melakukannya, bagaikan menebarkan debu melawan arah angin yang akan menimpa dirinya sendiri!" Sementara itu, Bu Song mencapai puncak. Bukan main indahnya pemandangan di puncak itu. Puncak penuh dengan hutan pohon yang besar-besar dan berdaun merah. Inilah agaknya yang menjadi sebab mengapa puncak ini tampak kemerahan seperti api menyala dari jauh. Namun pada saat itu, perhatian Bu Song seluruhnya ditujukan kepada Eng Eng sehingga ia tidak mempedulikan keindahan pemandangan, melainkan cepat-cepat ia menurunkan tubuh Eng Eng di atas tanah. "Eng-moi..... Eng-moi....." Bu Song mengguncang-guncang pundak Eng Eng dan merasa gelisah sekali melihat gadis itu meramkan mata dengan muka pucat. Eng Eng merintih lirih, menggerakkan kepala ke kanan kiri dan membuka matanya perlahan. Pemandangan pertama ketika ia membuka mata adalah hutan kemerah-merahan di depannya. Gadis ini kaget, bangkit dan merangkul Bu Song, katanya, "Song-ko... apakah kita berada di sorga?" Bu Song mendekap kepala itu, memeluknya dengan hati sebesar bukit. Ia mencium rambut di kepala itu dan berbisik, "Tidak, Moi-moi. Kita masih hidup, kita diselamatkan burung hek-tiauw yang kini masih bertanding dikeroyok banyak monyet jahat. Bagaimana, Moi-moi? Kau tidak apa-apakah? Tidak sakit-sakit tubuhmu?" Mendengar suara penuh getaran ini terharulah hati Eng Eng. Perasaan wanitanya dapat menangkap rasa kasih sayang yang amat besar dari pemuda ini kepadanya. Ia mengangkat muka, menggelengnya kemudian merangkul leher Bu Song. Baru saja terlepas dari bahaya maut membuat hati kedua orang muda ini makin dekat dan saling menyayang. Kali ini Eng Eng tidak marah ketika Bu Song menciumnya penuh kasih sayang, ciuman yang dilakukan saking girangnya hati melihat kekasihnya selamat. Eng Eng tidak marah, malah tanpa sengaja ia mempererat rangkulannya. Tiba-tiba Bu Song mendorong tubuh Eng Eng ke samping sambil berkata kaget, "Moi-moi, awas...!!" Matanya terbelalak memandang ke depan. Eng Eng terkejut sekali, cepat memutar tubuh sambil melompat berdiri di samping Bu Song yang sudah berdiri pula. Dan ia pun terbelalak kaget ketika melihat bahwa di depan mereka telah berdiri seekor monyet berbulu merah yang besar sekali, lebih besar dari manusia! Bulu monyet ini halus dan merah, matanya juga merah dan taringnya putih mengkilat tampak jelas karena monyet ini meringis dan matanya memandang penuh ancaman. Mengingat bahwa kekasihnya tidak pandai silat, Eng Eng segera maju dan berkata perlahan, "Koko, kau sembunyilah!" Kemudian gadis ini dengan gerakan gesit sekali menerjang maju, mengirim pukulan ke arah dada binatang itu sedangkan kakinya membuat gerakan menyapu kaki. Cepat sekali gerakan ini, namun monyet merah itu ternyata tidak kalah gesitnya. Anehnya, gerakan monyet itu seperti gerakan orang bersilat pula ketika ia melangkah mundur dan meloncat menghindarkan diri daripada sapuan kaki Eng Eng, bahkan sebelum kakinya turun ke tanah, monyet itu sudah membalas dengan cengkeraman tangan yang berkuku panjang meruncing ke arah pundak Eng Eng. Gadis ini cepat miringkan tubuhnya dan dari samping ia menendang. Puteri Kim-mo Taisu tentu saja memiliki ilmu kepandaian yang lumayan sungguhpun ayahnya diam-diam mengakui bahwa puterinya ini tidak begitu besar bakatnya. Tendangannya menyamping cepat sekali dan sebelum binatang yang amat gesit itu sempat mengelak, kaki gadis itu sudah mengenai lambungnya. "Bukkk!!" Eng Eng mengeluarkan seruan kaget. Tendangannya tadi dilakukan dengan pengerahan tenaga cukup keras, akan tetapi ia merasa seakan-akan menendang sebuah batu besar, kakinya membalik dan terasa sakit sekali. akan tetapi monyet besar itupun agaknya kesakitan karena ia memekik dan menjadi makin marah. Dengan gerakan cepat dan dahsyat ia menubruk dengan kedua tangan dan kakinya seperti seekor harimau menerkam. Kembali Eng Eng mengelak dengan menggulingkan tubuh ke atas tanah. Tubrukan luput, akan tetapi binatang itu sudah dapat berjungkir balik dan kini menyerang dan menerjang lagi. Tiba-tiba gerakan binatang itu terhenti karena Bu Song yang tidak tega melihat begitu saja kekasihnya berkelahi melawan binatang liar ini, sudah melompat maju dan karena Si Monyet membelakanginya, ia telah menerkam pundak dan leher binatang itu, terus menggumulnya dan menjepit leher binatang dengan lengan kanannya, sedangkan lengan kirinya menjepit perut. Binatang itu kaget dan meronta-ronta, menggereng dan kedua tangannya menangkap lengan Bu Song. Namun ia tidak dapat melepaskan diri dari jepitan tangan Bu Song yang amat kuat. Binatang itu menggulingkan diri, mereka bergumul, namun seperti seekor lintah menempel di kaki kerbau, Bu Song tidak dapat dilepaskan oleh monyet raksasa yang memekik-mekik marah. Celaka bagi Bu Song adalah kuku-kuku panjang dari tangan monyet itu yang mencengkeram lengannya. Biarpun Bu Song amat kuat, namun ia terlambat mengerahkan tenaga dalam yang di luar pengetahuannya telah memenuhi tubuhnya itu ke arah lengan. Masih baik baginya begitu kuku-kuku itu menancap lengan, ia mengerahkan tenaga sehingga lengannya tidak sampai terobek. Kuat sekali monyet itu, tenaganya liar dan ganas, mereka bergulingan mendekati jurang! "Koko, lepaskan dia....!" Eng Eng berteriak penuh kengerian melihat betapa kekasihnya bersama monyet itu bergulingan dekat jurang yang curam. Gadis ini meloncat dekat dan mengerahkan tenaga memukul kepala monyet raksasa. Namun kembali ia terkejut karena kepalan tangannya tidak sanggup meremukkan kepala, bahkan terasa sakit. Namun bukan tidak ada pengaruhnya pukulan ini karena si Monyet kembali memekik kesakitan dan kedua tangannya yang mencengkeram lengan Bu Song terlepas. Pemuda ini maklum pula akan bahayanya bergumul dekat jurang, maka ia melepaskan jepitannya dan mendorong punggung monyet itu sambil melompat ke belakang. Monyet itu marah sekali kepada Eng Eng yang dua kali telah memukulnya. Kini ia meloncat dan menerjang Eng Eng dengan pukulan-pukulan dan cengkeraman dahsyat, gerakannya tidak berbeda dengan ahli silat tinggi yang ahli dalam ilmu jiauw-kang ilmu mencengkeram. Eng Eng berusaha mengelak, akan tetapi malang baginya, rambutnya yang tadi terlepas dan terurai panjang itu dapat tertangkap oleh tangan monyet yang terus menarik dan mengayunnya. Tubuh Eng Eng terbawa oleh ayunan ini. Monyet itu memekik dan mengerahkan tenaga melontarkan dan... tubuh Eng Eng tanpa dapat dicegah lagi melayang ke arah jurang yang amat curam! "Eng-moi...!!" Bu Song menjerit penuh kengerian dan kegelisahan melihat tubuh kekasihnya melayang masuk jurang. Ia lari ke pinggir jurang dan ketika monyet itu menerkamnya, sekali menggerakkan tangan kirinya Bu Song berhasil membuat monyet itu terlempar! Dalam keadaan gelisah ini, secara tidak sadar Bu Song telah mempergunakan sin-kang yang sudah mengeram dalam tubuhnya sehingga sekali sampok tangan kirinya sanggup melemparkan monyet yang begitu kuat. Tanpa ingat akan bahaya lagi Bu Song lalu ikut meloncat ke dalam jurang dengan tangan diulurkan untuk menolong Eng Eng. Tentu saja tubuhnya ikut pula melayang turun dengan kecepatan seperti burung terbang. "Eng-moi...!" Ia berseru keras sekali, seluruh perhatiannya tercekam oleh kekhawatiran akan keselamatan Eng Eng, seujung rambut pun ia tidak ingat bahwa dia sendiri melayang-layang turun menghadapi maut yang mengerikan. "Koko......!" Eng Eng berteriak, merupakan jeritan lemah karena gadis yang sadar akan maut yang mengancam ini telah pingsan! Barulah kini Bu Song sadar pula akan keadaan mereka. Namun seluruh hasratnya hanya tercurah untuk menolong dan menyelamatkan nyawa kekasihnya, maka ia lalu berteriak keras sekali, sekuat paru-parunya mengeluarkan suara itu. "Hek-tiauw-ko....! Tolonggg......!!" Karena tubuh Bu Song jauh lebih berat daripada tubuh Eng Eng, maka dalam luncuran ke bawah ini ia lebih cepat menyusul tubuh Eng Eng. Dengan kemauan keras, Bu Song mengulur tangan dan berhasil memegang lengan Eng Eng. Akan tetapi kini karena kedua tubuh mereka menjadi satu maka berat badan menjadi bertambah dan mereka meluncur ke bawah dengan kecepatan yang mengerikan. melihat ke bawah Bu Song merasa seakan-akan buka mereka yang meluncur ke bawah, melainkan batu-batu karang di bawah yang melayang ke atas menuju mereka! "Hek-tiauw-ko.....!" Ia menjerit lagi dan terdengarlah bunyi kelepak sayap ketika burung rajawali hitam yang besar itu menyambar ke arah mereka. Karena burung ini hanya mengenal Bu Song, maka agaknya hanya kepada pemuda inilah ia mau menolong. Cepat sekali kakinya duah menyambar pundak Bu Song. Pemuda itu merasa pundaknya tertusuk kuku, akan tetapi maklum bahwa hanya burung ini yang akan mampu menolong mereka berdua, ia cepat menggunakan tangan kirinya merangkul ke atas dan berhasil memeluk leher burung rajawali hitam, sedangkan tangan kanannya tetap memegang lengan Eng Eng. Berat tubuh mereka berdua terlalu berat bagi burung rajawali yang sudah lelah dan terluka karena dikeroyok monyet-monyet tadi. Maka betapapun ia menggerakkan sayapnya, ia tidak kuasa menahan luncuran ke bawah dan melayang-layanglah mereka bertiga, biarpun tidak begitu pesat seperti tadi karena tertahan gerakan sayap burung yang berusaha mengangkat mereka, namun masih terus meluncur, tak tertahankan lagi! Burung itu mengeluarkan suara seperti orang merintih ketika mereka telah dekat sekali dengan dasar jurang, lalu burung itu mengerahkan kaki mengangkat tubuh Bu Song ke atas sambil membalikkan tubuh sehingga tubuhyalah yang berada di bawah. "Brukkkk...!!" Mereka terhempas ke bawah dan dunia menjadi gelap gulita bagi Bu Song yang roboh pingsan oleh bantingan yang hebat itu. Lama sekali Bu Song pingsan. Tubuh kedua manusia dan seekor burung itu tak bergerak sama sekali. Hanya bulu burung yang kehitaman, ujung pakaian Bu Song dan rambut Eng Eng saja yang bergerak-gerak tertiup angin. Ketika akhirnya Bu Song membuka matanya, ia nanar dan tidak ingat apa yang telah terjadi. Tubuhnya tak dapat bergerak. Akan tetapi perlahan-lahan ingatannya kembali dan ia bergidik. Kiranya yang membuat ia tak dapat bergerak adalah tubuh Eng Eng yang melintang di atas dadanya. Perlahan ia bangkit duduk, mengeluh karena seluruh tubuhnya sakit-sakit. Akan tetapi ia tidak mempedulikan dirinya, cepat ia mengangkat tubuh atas Eng Eng. Gadis itu tidak kelihatan terluka di luar, akan tetapi mulut, hidung dan telinganya mengucurkan darah! "Eng-moi...!" Bu Song berseru lemah dan mengusap darah dari muka gadis itu. diguncangnya perlahan pundak Eng Eng, namun tubuh itu lemas dan mata itu tidak terbuka. "Moi-moi..., Eng-moi...!" Bu Song memanggil-manggil dan mengguncang-guncang, namun sia-sia. Eng Eng tetap tidak bergerak dan tidak membuka matanya. Dia pingsan, pikir Bu Song. Harapannya timbul. Dada gadis itu yang menempel di dadanya masih berdetak biarpun lemah, dahinya yang ia ciumi masih hangat. Eng Eng tidak mati, hanya pingsan. Tidak bisa dia mati! Ia ingat bahwa paling baik adalah mencari air untuk mencuci darah dan untuk membasahi muka dan kepala Eng Eng agar sadar kembali. Perlahan dan hati-hati ia meletakkan tubuh yang dipangkunya itu kembali ia bangkit berdiri, terhuyung-huyung akan jatuh. Akan tetapi ia menguatkan diri dan tiba-tiba tampaklah olehnya tubuh rajawali hitam menggeletak. Kepala burung itu pecah, otaknya berhamburan dan binatang itu tidak bernyawa lagi! Kiranya ketika jatuh tadi, burung itu sengaja memasang tubuhnya di bawah dan malang baginya, kepalanya terbanting pada batu sehingga hancur seketika. Bu Song berlutut dan mengelus-ngelus burung itu, dan titik air mata membasahi pipi. Kemudian ia teringat kepada Eng Eng, terus berdiri lagi dan mencari air. Kebetulan tak jauh dari situ terdapat air mancur dari lubang dalam batu karang. Segera ia menuju ke air dan karena tidak ada tempat untuk mengambil air, ia hanya menggunakan kedua tangannya, lalu cepat-cepat berjalan menghampiri Eng Eng dengan hanya sedikit sisa air di mangkuk tangannya. Setelah muka yang pucat itu terkena air, Eng Eng bergerak lemah dan dengan mata masih meram, bibir gadis ini bergerak membisikkan kata-kata yang cukup jelas bagi Bu Song, "Song-koko..., Koko... aku cinta padamu..." Bu Song merasa seakan-akan jantungnya diremas. Ia mendekap kepala gadis itu dan berbisik di telinganya. "Eng Eng... aku berada di sini...., mati hidup aku bersamamu, Eng-moi..." Ia melihat mulut itu tersenyum, akan tetapi matanya tetap tidak terbuka. "Eng-moi... Eng-moi..." Namun gadis itu tidak menjawab dan Bu Song berlari lagi menuju ke air mancur. Kali ini ia mendapatkan beberapa helai daun yang ia jadikan satu dan dengan daun-daun ini ia dapat membawa air ke dalamnya. Gadis itu menelan air dan mengeluh perlahan, lalu membuka mata. Mereka saling pandang, mata yang sayu dari Eng Eng bertemu pandang mata penuh harap-harap cemas dari Bu Song. "Song-ko..." Eng Eng berkata lemah, berusaha untuk tersenyum. Bu Song segera memangku gadis itu dan gerakan ini membuat Eng Eng merintih kesakitan. "Bagaimana, Moi-moi? Apamu yang sakit? Kau tidak apa-apa, bukan?" pertanyaan penuh kecemasan dilontarkan bertubi-tubi. Eng Eng meramkan mata, keningnya berkerut-kerut. Jelas bahwa ia menderita nyeri hebat yang ditahan-tahannya, kemudian ia membuka lagi matanya dan kini bulu matanya basah. "koko... tiada harapan lagi..." Seakan-akan terhenti detik jantung Bu Song dan ia mereka-reka arti yang lain untuk kalimat itu. "....... apa.... apa maksudmu...?" Kembali Eng Eng meramkan mata dan ketika membukanya lagi, kini beberapa butir air mata mengalir turun. Ia menggeleng kepala. "Sakit semua rasa tubuhku... Song-ko. Kepalaku... ah, serasa dipukul-pukul dari dalam.... dadaku.... serasa terbakar dan akan pecah... oh..." "Eng-moi...!" Bu Song mendekap kepala itu, mengelus-elusnya seakan-akan ia hendak mengusir rasa nyeri di kepala dengan usapan dan hendak mengoper rasa panas di dadanya sendiri. "Eng-moi, kau tentu akan selamat. Jangan khawatir, Moi-moi... aku akan membawamu pulang, aku akan..." "Ssttt, diamlah... jangan bergerak, Koko... biarkan aku menikmati pelukanmu seperti ini untuk terakhir kali...! Song-koko, kau... kau... girangkah dijodohkan dengan aku...?" Makin perih hati Bu Song, seakan-akan kini ditusuk-tusuk jarum. Ia menahan air mata yang hendak runtuh, lalu menundukkan muka menempelkan pipinya pada pipi Eng Eng, berbisik di telinganya, "Tentu saja, kekasihku, tentu saja aku girang sekali..., karena itu kau harus sembuh, kau harus sembuh, kau harus selamat, kelak kita... menikah..." Naik sedu sedan di dada Eng Eng dan hal ini agaknya amat menimbulkan nyeri sehingga ia meramkan matanya kembali. Ketika ia membuka matanya, air matanya makin deras mengalir akan tetapi mulutnya tersenyum. "Song-ko..." Tangannya diangkat lemah, meraba-raba dan membelai dagu Bu Song yang agak berlekuk, "...mengapa kau... girang berjodoh denganku? Apakah kau... cinta padaku...?" "Eng-moi...!" Bu Song teringat akan bisikan gadis itu ketika dalam keadaan setengah sadar tadi, bisikan pengakuan cinta. "Kau masih bertanya lagi? Aku cinta kepadamu, Eng-moi. Aku mencintamu dengan seluruh jiwa ragaku..." "Koko..., kasihan kau..." Eng Eng merangkul leher itu dan mereka bertangisan. Bu Song tak dapat menahan diri lagi, air matanya bercucuran, bercampur dengan air mata Eng Eng di pipi gadis itu yang ia coba mengeringkannya dengan ciumannya. Air mata yang bercampur dengan air mata Eng Eng di pipi gadis itu yang ia coba mengeringkannya dengan ciumannya. Air mata yang bercampur darah yang masih mengalir keluar dari hidung. Bu Song tidak peduli, ia menghisap air mata dan darah itu. "Kasihan kau, Koko..., karena aku... aku tidak akan hidup lagi..." "Eng-moi...! Jangan berkata begitu.... Moi-moi, kau tidak... kau tidak akan... ah, kau akan hidup bersamaku..." Jari-jari tangan Eng Eng menjelajahi muka pemuda itu, mengelus rambutnya seakan-akan ia hendak menggunakan saat terakhir untuk mengenal lebih dekat wajah pemuda yang sejak dahulu telah menguasai rasa kasihnya, yang dahulu hanya dapat ia pandang dan kenang saja. "Aku tahu, Koko... aku terluka dalam hebat sekali... dalam dada... darah mengalir di dadaku, juga di kepalaku... tiada guna..., aku akan mati... dalam pelukanmu." "Moi-moi!" Kini Bu Song menangis tersedu-sedu sambil mendekap gadis itu. "kau tidak akan mati! Kalau kau mati, aku pun ingin mati di sampingmu!" Eng Eng tersenyum mendengar ini dan kini air mata Bu Song yang membanjir turun itu memasuki bibirnya yang terbuka, menimbulkan rasa segar pada kerongkongannya yang serasa panas terbakar. Tiba-tiba Eng Eng mendapatkan tenaganya kembali dan ia menolak muka Bu Song, lalu ia bangkit duduk. Bu Song tentu saja menjadi girang sekali. "Moi-moi, kau sembuh! Kuambilkan air, ya? Biar kumasak air agar air hangat-hangat dapat menyegarkan tubuhmu. Lalu kita mencari jalan naik, jangan khawatir, aku masih sanggup menggendongmu ke atas. Kita pulang!" Eng Eng tersenyum akan tetapi menggeleng kepalanya, lalu tangannya menepuk tanah di dekatnya memberi isyarat kepada Bu Song untuk duduk di dekatnya. "Kau.... kau sanggulkan rambutku...," katanya. Biarpun kelihatannya gadis ini bertenaga kembali, namun suaranya tersendat-sendat dan sukar keluarnya, Bu Song cepat melakukan perintah ini. Jari-jari tangannya menggetarkan kasih sayang mesra ketika ia berusaha menyanggul rambut panjang halus itu sedapat mungkin. Akan tetapi pekerjaan ini sukar sekali ia laksanakan. Jari-jari tangannya menggigil. Tubuhnya sendiri terasa sakit-sakit, ditambah rasa haru dan khawatir membuat air matanya bercucuran. Matanya menjadi kabur dan beberapa kali ia mendekap dan menciumi gadis itu dengan hati hancur. Eng Eng balas memeluk dan bahkan gadis inilah yang mengeluarkan kata-kata hiburan, kata-kata lemah yang berbisik-bisik hampir tak terdengar. "Diamlah....... Koko, diamlah..... kausanggulkan rambutku... biar rapi..." Bu Song berusaha membesarkan hatinya, akan tetapi bagaimana ia dapat menahan isak tangisnya ketika ia menyanggul rambut itu melihat betapa kepala Eng Eng penuh darah yang mulai membeku? Namun akhirnya berhasil juga ia menyanggul rambut gadis itu. "Koko.... aku.... aku ingin..." Ia berhenti sukar sekali melanjutkan kata-katanya. Bu Song menempelkan telinga di dekat bibir yang sudah pucat itu. "Apa, Moi-moi kau ingin apa?" "Ah, aku... aku malu... hik..." Bu Song memeluknya. "Katakanlah, kau mau apa, Moi-moi..." ".... hemmm...? ...aku ....aku ingin... sekarang menikah denganmu." Lalu disambungnya perlahan sekali, "aku ingin... mati sebagai istrimu..." "Eng-moi...!" Bu Song tak kuat menahan tangisnya. "Koko, jangan menangis. Maukah kau...? Maukah kau...?" Bu Song tak dapat menjawab, hanya mengangguk-anggukkan kepalanya dan air matanya bercucuran membasahi mukanya. Hampir pemuda ini pingsan saking perih dan sakit rasa hatinya. "Mari kita bersumpah, Koko, marilah...." Terpaksa Bu Song menuruti permintaan Eng Eng. Dengan susah payah ia menggandeng gadis itu, diajak berlutut sambil berpegang tangan, berlutut seperti sepasang pengantin bersembahyang! Untuk menyenangkan hati gadis itu Bu Song berkata keras-keras, "Langit dan bumi menjadi saksi! Saat ini kami, Kam Bu Song dan Kwee Eng, menjadi suami isteri, sehidup semati...!" Eng Eng tertawa, tertawa malu-malu dan ketika Bu Song menolehnya, gadis itu merangkulnya dengan wajah penuh bahagia. Eng Eng menyembunyikan mukanya di dada Bu Song, akan tetapi pada saat itu pula nyawanya telah melayang meninggalkan raganya! Tadinya Bu Song tidak tahu, baru setelah ia merasa betapa tubuh gadis itu lemas sekali, ia mengangkat dan tahu bahwa kekasihnya itu tak bernyawa lagi. "Eng-moi......!" Ia menjerit, mendekap dan roboh pingsan sambil memeluk Eng Eng. *** Pukulan batin yang diderita Kim-mo Taisu ketika ia mendapatkan muridnya pingsan di samping puterinya, membuat pendekar ini seketika menjadi seorang yang seperti hilang semangat. Rambutnya seketika menjadi putih semua, wajahnya kerut-merut dan pandang matanya sayu seperti lampu kehabisan minyak. Ketika ia mendengar cerita Bu Song tentang kecelakaan yang menyebabkan tewasnya Eng Eng, wajah pendekar itu menjadi beringas, kemudian ia lari dan mengamuk. Sehari itu terdengar suara Kim-mo Taisu memekik-mekik dan melengking-lengking di seluruh bukit dan akibatnya amatlah mengerikan. Tak seekor pun binatang monyet tinggal hidup lagi di situ. Ratusan bahkan mungkin ribuan ekor monyet berikut yang masih kecil-kecil semua terbunuh oleh Kim-mo Taisu dan pekerjaan pembunuhan besar-besaran ini baru selesai setelah hari mulai gelap. Setelah mengubur jenazah puterinya di dekat kuburan isterinya, Kim-mo Taisu memandang Bu Song dengan pandang mata layu, kemudian bertanya. "Bu Song, semua bahan kepandaian yang ada padaku telah kaumiliki, namun agaknya engkau tidak merasakan hal itu. Biarlah, agaknya memang lebih baik begitu. Kepandaian silat ternyata hanya mendatangkan malapetaka dan kau berangkatlah ke Kerajaan Cou Muda. Di sana mulai diadakan ujian tiap tahun untuk memilih tenaga-tenaga muda yang pandai. Setelah sampi di kota raja, kaucarilah seorang sahabatku bernama Ciu Tang yang bekerja sebagai pengurus rumah gadai, tinggalnya di sebelah kiri rumah penginapan Lok-an. Kauberikan suratku ini dan selanjutnya dialah yang akan mengatur agar kau dapat mengikuti ujian." Dengan muka pucat dan mata merah Bu Song mendengarkan pesan gurunya, kemudian tak tahan lagi ia menubruk kaki gurunya dan menangis. "Ah, Suhu... malapetaka telah menimpa kehidupan Suhu... teecu sama sekali belum mampu membalas kebaikan Suhu akan tetapi Suhu selalu memperhatikan keadaan teecu..." Kim-mo Taisu menghela napas panjang. "Jalan hidupmu dan jalan hidupku bersimpang jauh. Kau tidak menyukai ilmu silat, mudah-mudahan hidupmu lebih berbahagia daripada hidupku. Mungkin engkau lebih benar, Bu Song." Dengan hati terharu dan penuh duka pemuda itu lalu mempersiapkan barang-barang yang hendak dibawanya. Ia makin terharu kalau teringat bahwa semua pakaiannya itu adalah pemberian suhunya. Maka ia lalu teringatlah akan miliknya sendiri, yaitu obat sarang burung rajawali yang diambilnya dari puncak. Segera diambilnya obat itu dan diberikannya kepada Kim-mo Taisu sambil berkata. "Teecu tidak dapat berbuat sesuatu untuk membalas kebaikan Suhu, juga tidak memiliki sesuatu untuk diberikan. Sarang rajawali hitam ini mungkin sekali berguna bagi Suhu, harap Suhu sudi menerimanya." Terbelalak kakek itu memandang benda ini. "Bagaimana kau bisa mendapatkan ini?" Tanyanya penuh keheranan. Bu Song lalu menceritakan pengalamannya ketika ia menolong anak rajawali yang jatuh kemudian ia melihat benda ini yang segera diambilnya. Kim-mo Taisu menggeleng-geleng kepala dan berkata, "Benar-benar kehendak Thian! Sungguh aneh dan luar biasa? Seluruh orang kang-ouw akan mengilar melihat benda ini, Bu Song. Biarpun aku sendiri diberi waktu seribu tahun, belum tentu aku bisa mendapatkan benda ini. Ah, sungguh lucu kalau nasib mau mempermainkan orang. Kau memiliki semua bakat dan dasar, akan tetapi kau tidak suka ilmu silat, akan tetapi kau mendapatkan mustika rajawali hitam ini! Sungguh lucu! Kau simpan ini baik-baik, dan setiap kali kau merasa lapar, kau boleh masak ini dan makan. Obat ini akan menguatkan tubuhmu dan mencegah segala macam racun mengganggumu." "Teecu serahkan kepada Suhu..." "Ah, aku sudah tua dan sudah kebal. Untuk apa segala macam obat? Kausimpanlah dan turut nasihatku, kaumakan semua sampai habis!" Perpisahan ini amat menyedihkan. Bu Song tidak mau pergi meninggalkan suhunya sebelum orang tua itu pergi lebih dulu. Akhirnya, tiga hari kemudian, berangkatlah Kim-mo Taisu turun dari puncak, diikuti pandang mata muridnya yang berlutut di depan pondok ke arah gurunya pergi. Setelah Kim-mo Taisu tidak tampak lagi, baru Bu Song menggendong bantalannya, lalu ia menghampiri kuburan isteri gurunya dan Eng Eng. Ia berlutut dan memberi hormat di depan kuburan ibu gurunya, kemudian dengan kepalan tangannya ia menghapus air mata, bangkit berdiri dan dengan langkah lebar ia meninggalkan puncak. Pada waktu itu, Bu Song sudah berusia dua puluh tahun. Tubuhnya tinggi besar dan tegap, wajahnya tampan, alisnya berbentuk golok dan dipandang sepintas lalu ia patut menjadi seorang pendekar. Akan tetapi wajahnya suram muram, sepasang matanya yang tajam itu kehilangan kegembiraan hidup sedangkan dagunya mengeras tanda bahwa semuda itu ia sudah mengalami banyak kekecewaan hidup. Ia sudah kehilangan orang-orang yang ia sayang. Akan tetapi, ia harus mentaati perintah suhunya, ia harus tidak mengecawakan harapan suhunya. Ia akan mengikuti ujian dengan penuh semangat sehingga berhasil. Dengan demikian berarti ia menjujung tinggi nama suhunya dan hanya inilah agaknya satu-satunya pembalasan budi yang akan dapat ia lakukan terhadap suhunya. Sementara itu, setelah jauh dari puncak yang selama ini menjadi tempat tinggalnya, Kim-mo Taisu lalu mengerahkan kepandaiannya dan berlari cepat sekali menuju ke selatan. Teringat akan semua yang baru saja ia alami, Kim-mo Taisu berkali-kali menghela napas. Nasib mempertemukan dia dengan Liu Lu Sian, bahkan melibatkan dia dengan urusan bekas kekasihnya itu yang kini menjadi tokoh iblis betina yang dimusuhi semua orang kang-ouw. Nasib membuat dia terpaksa membela Tok-siauw-kwi Liu Lu Sian sehingga ia melakukan pembunuhan terhadap orang kang-ouw yang mengeroyok Lu Sian. Teringat betapa ia terluka hebat, dibawa lari oleh bekas kekasihnya itu dan dirawat di dalam pondok dalam hutan, dirawat penuh kesabaran dan kemesraan. Lu Sian mencintanya! Dan ia masih mencinta Lu Sian! Hal ini tak dapat mereka sangkal pula. "Lu Sian, tidak baik begini," katanya ketika wanita itu merawatnya dengan kasih sayang besar. "Kita sudah tua dan jalan hidup kita bersimpang jauh." "Mengapa tidak baik, Kwee Seng?" Lu Sian menjawab. "Memang jalan hidup kita tadinya bersimpang jauh, akan tetapi Thian mempertemukan kita dan terbukalah sekarang mataku bahwa sesungguhnya hanya engkaulah laki-laki yang patut kutemani selamanya. Aku dahulu bodoh, Kwee Seng, akan tetapi setelah kini sadar, tak maukah engkau memperbaiki kesalahan yang sudah lewat?" Kim-mo Taisu menggeleng-geleng kepalanya. "Tidak bisa, Lu Sian. Tidak mungkin lagi..." Lu Sian menahan isak. "Kwee Seng, di mana-mana aku dikurung musuh. Tidak sanggup rasanya aku harus menghadapi semua itu seorang diri. Aku sudah bosan, Kwee Seng. Aku sudah rindu hidup tenteram di samping orang yang kucinta!" Lu Sian kini benar-benar menangis, menelungkup di atas dada Kim-mo Taisu yang terlentang di atas dipan bambu. "Sudah terlambat, Lu Sian. Dan lagi, apakah kau hendak menghancurkan kebahagiaan puteramu sendiri?" "Apa...?" Lu Sian meloncat mundur dan memandang wajah Kim-mo Taisu dengan mata terbelalak. Kim-mo Taisu tersenyum. Dadanya tidak terasa sakit lagi setelah semalam diobati oleh Lu Sian yang mengerahkan seluruh tenaga dalamnya untuk memulihkan kesehatan bekas kekasihnya. Juga ramuan obat simpanan Lu Sian amat manjur untuk menyembuhkan luka di dalam tubuh. "Lu Sian, kau tidak tahu bahwa bertahun-tahun puteramu, Kam Bu Song, telah ikut denganku dan menjadi muridku. Malah kini ia akan menjadi mantuku." Lu Sian terbelalak, mulutnya ternganga dan tak terasa lagi air matanya bertitik-titik turun membasahi pipinya. Rasa girang, haru, dan duka menyesak di dadanya. "Ceritakan..." dia berbisik, "ceritakan tentang dia..." Dengan singkat Kim-mo Taisu lalu menceritakan pertemuannya dengan Bu Song dan betapa Bu Song menjadi muridnya, kemudian betapa ia menjodohkan Bu Song dengan Eng Eng. "Anakmu itu aneh, dan bijaksana tidak seperti kita, Lu Sian. Dia benci akan ilmu silat dan sama sekali tidak mau belajar ilmu silat, malah ia menganggap ilmu silat, suatu ilmu yang amat jahat." "Hee.....? Mengapa begitu? Kalau begitu, dia menjadi muridmu... belajar apakah?" "Belajar ilmu membaca dan menulis, menggambar dan menulis indah. Belajar sastera. Malah sekarang ia hendak kusuruh menempuh ujian di kota raja, setelah lulus ujian barulah pernikahan dilangsungkan. Lu Sian, kau tentu setuju, bukan, demi kebagaiaan puteramu?" Lu Sian menundukkan mukanya. "Kalau begitu.... dia..... dia tentu membenciku..." "Dia tidak membenci siapapun juga. Hanya, tentu saja dia tidak tahu bahwa ibunya adalah Tok-siauw-kwi..." "Aahhh....!" Lu Sian terisak menangis. Akan tetapi kekerasan hatinya segera menguasai hati dan pikirannya. Ia meloncat berdiri. "Tidak peduli! Biar dia menjadi putera ayahnya, menjadi orang baik-baik, menjadi pembesar!" Aku Tok-siauw-kwi Liu Lu Sian lalu meloncat pergi dan meninggalkan Kim-mo Taisu. "Lu Sian...!" Kim-mo Taisu memanggil, akan tetapi wanita itu tidak kembali lagi. Diam-diam ia menarik napas panjang, amat kasihan melihat nasib bekas kekasihnya itu. Ia maklum bahwa ceritanya tentang Bu Song tadi menghancurkan hati Lu Sian dan mendatangkan tekanan batin yang hebat sekali kepada wanita itu merasa kehilangan segala-galanya. Betapa tidak harus dikasihani kalau seorang wanita seperti Lu Sian itu, oleh perbuatannya sendiri di waktu muda, setelah tua kini dimusuhi semua orang, bahkan tidak dikehendaki oleh puteranya sendiri? Kim-mo Taisu sendiri sama sekali tidak pernah mimpi bahwa nasibnya sendiri juga amat buruk. Ia menyedihkan keadaan Lu Sian, menaruh kasihan kepada Lu Sian, akan tetapi sama sekali ia tidak tahu bahwa pada saat itu keluarganya tertimpa bencana hebat. Kwee Eng, puteri tunggalnya, satu-satunya orang yang menjadi keluarganya di dunia ini telah direnggut maut nyawanya dalam keadaan yang amat menyedihkan! Memang banyak sekali hal-hal terjadi di dunia ini yang amat menyedihkan dan membingungkan manusia. Banyak terjadi hal-hal yang kelihatannya tidak adil. Namun sesungguhnya tidaklah demikian adanya. Semua peristiwa yang terjadi sudah menjadi kehendak Tuhan yang mengatur dengan sesempurnanya. Hanya karena semua itu menjadi rahasia besar, maka manusia tidak dapat menyelaminya dengan akal dan pikiran, sehingga bagi manusia kadang-kadang kelihatannya aneh dan janggal serta tidak adil. Bagi pendapat umum, agaknya sudahlah sepatutnya kalau orang seperti Liu Lu Sian setelah tua hidup menderita oleh karena ia memetik buah daripada semua perbuatannya sendiri di waktu ia masih muda. Masih muda menjadi hamba nafsu, setelah tua timbul sesal dan duka. Akan tetapi bagaimanakah dengan Kim-mo Taisu? Mengapa ia selalu hidup merana dan sengsara? Bukankah dia seorang pendekar besar, seorang yang berbudi baik? Mengapa ia pun mengalami hidup menderita di waktu tua? Memang sudah semestinya begitulah! Dunia ini berputar oleh dua sifat yang bertentangan dan saling dorong, saling menghidupkan. Ada terang ada gelap, ada panas ada dingin! Sudah semestinya begitu. Yang menderita karena gelap, yang menderita karena panas atau dingin! Bahagialah mereka yang tidak menderita karena terang atau gelap, karena panas atau dingin. Mereka inilah sesungguhnya manusia yang sudah sadar dan dapat menyesuaikan diri dengan segala peristiwa yang menimpa dirinya karena maklum bahwa semua itu adalah kehendak Tuhan! Segala peristiwa yang sudah semestinya terjadi di dunia ini, terjadilah sesuai dengan rencana-Nya dan kehendak-Nya. Tiada kekuasaan lain di dunia yang mampu mengubahnya. Peristiwa pun terjadilah. Tidak ada susah atau senang. Susah atau senang merupakan hasil tanggapan si manusia yang menghadapinya. Manusia bijaksana dan sadar akan menerima penuh kesadaran dan kesenangan, baik peristiwa itu menguntungkan maupun merugikan dirinya. Sebaliknya, orang yang belum sadar akan menerimanya dengan sorak-sorai kesenangan atau tangis keluh kedukaan. Penerimaan macam inilah yang akan membentuk akibat-akibat dan perbuatan-perbuatan yang tiada berkeputusan, membentuk lingkaran-lingkaran. Karma yang makin kuat membelenggu manusia. Kim-mo Taisu bukanlah seorang bodoh, akan tetapi ia seorang yang lemah. Peristiwa-peristiwa yang menimpa dirinya diterimanya dengan perasaan hancur dan menyebabkan ia menanam bibit kebencian dan dendam yang mendalam terhadap musuh-musuh keluarga isterinya. Kematian isterinya dan puterinya membuat pendekar ini hanya mempunyai satu cita-cita di dalam hatinya, yaitu membalas dendam dan membasmi musuh-musuh keluarga isterinya. Mulailah ia merantau dan mulai saat itu, nama Kim-mo Taisu menjadi terkenal sebagai seorang yang sepak terjangnya menakutkan. Para tokoh yang merasa pernah bermusuhan dengan Kerajaan Tang, yang pernah bermusuhan dengan Kong Lo Sengjin atau Sin-jiu Couw Pa Ong diam-diam menyembunyikan diri, takut bertemu dengan Kim-mo Taisu yang amat hebat ilmu kepandaiannya itu. Bu Song juga terpukul hatinya oleh peristiwa kematian Eng Eng. Akan tetapi ia seorang muda yang kuat menderita. Agaknya karena banyak menderita semenjak kecil, membuat hatinya menjadi kuat dan kebal. Tidak mudah ia runtuh semangat. Agaknya karena tubuh sehat batin kuat inilah yang membuat Bu Song dapat melakukan perjalanan cepat dengan penuh gairah hidup. Matanya yang tadinya redup sayu mulai bersinar-sinar lagi, kedua kakinya melangkah lebar. Berhari-hari ia melakukan perjalanan naik turun gunung. Ia mentaati pesan gurunya dan mulailah ia makan sarang burung rajawali hitam. Enak rasanya, gurih dan harum. Juga setiap kali makan perutnya terasa kenyang dan tahan sampai sehari tidak makan. Pemuda ini sama sekali tidak tahu bahwa benda yang dimakannya adalah obat kuat yang amat langka didapat, obat yang membuat darahnya menjadi bersih dan tulang-tulangnya menjadi kuat. Setelah melakukan perjalanan lima belas hari, habislah bekal sarang burung itu dan mulailah ia mencari buah-buahan di sepanjang jalan dan ada kalanya ia membeli masakan di warung sebuah dusun yang dilaluinya. Bekal yang diberikan gurunya cukup banyak. Pada suatu hari ketika ia melalui sebuah lereng gunung yang terjal, ia mendengar suara orang bertempur. Suara itu datangnya dari bawah lereng dan yang membikin Bu Song tertarik dan kaget adalah suara melengking tinggi yang aneh, seperti orang tertawa akan tetapi juga seperti suara wanita menangis. Ia lalu mempercepat langkahnya menuju ke arah suara itu. Benar saja, di sebuah tikungan, ia melihat seorang wanita cantik sedang bertanding melayani dua orang laki-laki tua. Akan tetapi pertandingan itu amat aneh. Si wanita duduk bersila di bawah pohon, sedangkan dua orang laki-laki itu berdiri di depannya. Yang seorang adalah kakek berkepala gundul bersenjata toya sedangkan yang ke dua seorang kakek tinggi kurus berambut panjang dan berpedang yang berkilauan cahayanya. Anehnya, kedua orang kakek itu hanya mengancam dengan senjata mereka sedangkan Si Wanita hanya tertawa-tawa mengejek, sama sekali tidak bergerak dari tempat ia bersila. Pada saat Bu Song tiba di tempat itu dan mengintai dari balik sebuah batu besar, wanita itu berkata, suaranya merdu akan tetapi dingin menyeramkan. "Sekali lagi kuperingatkan kalian. Jangan ganggu aku dan pergilah. Aku tidak memusuhi Siauw-lim-pai, juga tidak memusuhi Kong-thong-pai. Adalah partai kalian yang selalu memusuhi aku. Aku sudah bosan bertempur, bosan membunuh. Pergilah dan jangan ganggu aku!" "Siluman betina, dendam di antara kita sedalam lautan. Harus ditebus dengan nyawa!" seru kakek itu sambil menggerakkan pedangnya membacok. "Omitohud, Tok-siauw-kwi, pinceng juga bukan tukang berkelahi, akan tetapi dosamu terhadap Siauw-lim-pai sudah terlalu banyak. Kewajiban pinceng untuk menghukummu!" kata Si Hwesio pula sambil melangkah maju. Tiba-tiba wanita itu mengeluarkan suara lengking tinggi dan rambutnya yang panjang itu bergerak ke depan, berubah menjadi segulung sinar hitam yang menyambar dahsyat. Dua orang kakek itu terkejut sekali. sia-sia saja mereka menggerakkan senjata untuk membebaskan diri karena senjata mereka itu tahu-tahu telah terlibat rambut dan tanpa dapat mereka cegah lagi, senjata toya dan pedang itu sudah terbang pergi dari tangan mereka dan terlempar ke dalam jurang! "Kalian bukan lawanku. Pergilah, aku beri ampun kalian!" Wanita itu berkata lagi, tetap masih duduk bersila, bahkan kini meramkan mata seperti orang hendak samadhi. Akan tetapi dua orang kakek itu kelihatan menjadi makin marah. "Tok-siauw-kwi siluman jahat! Kami tidak takut mati. Engkau atau kami yang harus mati saat ini juga!" Hwesio itu menyambar sepotong ranting pohon dan mempergunakannya sebagai tombak yang ia lontarkan sepenuh tenaga ke arah wanita itu. adapun kakek dari Kong-thong-pai itupun mengeluarkan batang senjata piauw yang ia sambitkan sekuat tenaga ke arah tiga bagian tubuh yang berbahaya. Melihat ini diam-diam Bu Song merasa ngeri. Jarak antara kedua orang itu dan Si Wanita cantik yang duduk bersila meramkan mata di bawah pohon tidaklah jauh, sedangkan serangan itu luar biasa cepat dan kuatnya. Ia membayangkan betapa wanita itu akan tewas dalam keadaan mengerikan dan ada juga rasa penasaran di dalam hatinya yang menganggap perbuatan dua orang laki-laki itu sama sekali tidak dapat dipuji. Jelas bahwa wanita itu sudah mengalah, akan tetapi dua orang itu nekat saja, bahkan melakukan penyerangan yang amat curang. Akan tetapi tiba-tiba mata Bu Song menjadi silau melihat cahaya terang keluar dari kedua tangan wanita itu. Entah apa yang terjadi ia tidak dapat mengikuti dengan jelas, akan tetapi tahu-tahu kedua orang kakek itu menjerit keras dan... dada Si Hwesio sudah tertusuk ranting yang ia lontarkan tadi, adapun Si Kakek mendekap dadanya yang dimakan oleh tiga batang piauwnya sendiri. hebat sekali luka mereka, dengan mata terbelalak mereka berputaran lalu roboh berkelojotan dan tak lama kemudian tewaslah kedua orang itu. Wanita itu mengeluarkan suara melengking keras seperti orang menangis. Ketika Bu Song memandang lagi, ternyata wanita itu sudah lenyap, tidak ada lagi di tempat tadi. Berdebar jantung Bu Song. Peristiwa yang amat hebat dan mengerikan terjadi di depan matanya. Peristiwa pembunuhan, lagi-lagi dilakukan oleh orang-orang yang memiliki ilmu tinggi. Ia keluar dari tempat sembunyinya, melangkah lebar menghampiri dua orang yang sudah menjadi mayat itu, lalu menarik napas panjang. Dengan hati rasa penasaran ia berdongak dan berkata dengan suara keras. "Dendam! Pembunuhan! Bunuh-membunuh! Apakah hanya untuk ini manusia dilahirkan di dunia?" Kemudian Bu Song turun tangan, menggulung lengan baju dan membongkar batu-batu di bawah pohon, menggali lubang yang cukup lebar untuk mengubur dua jenazah kakek yang tidak dikenalnya itu. Sambil mengerjakan ini, wajah wanita itu terbayang di depan matanya dan berulang kali Bu Song menarik napas panjang. Wanita yang patut dikasihani, pikirnya. Hidup bergelimang dalam gelombang permusuhan yang tak dapat disingkiri dan yang agaknya mengejar-ngejarnya terus. Kali ia menang. Apakah lain kali akan dapat menang terus? Kepandaian tidak ada batasnya dan sekali waktu tentu wanita itu yang menjadi korban, tewas mengerikan seperti keadaan dua orang kakek ini. Masih baik kedua orang kakek ini tewas di depannya sehingga masih ada yang mengubur jenazah mereka! Setelah selesai mengubur dua mayat itu, Bu Song mengebut-ngebutkan pakaiannya dari debu, menyandangkan bungkusan pakaian yang tadi ia turunkan, lalu melangkah pergi meninggalkan tempat itu. matahari sudah condong ke barat dan dengan ujung lengan bajunya Bu Song menghapus peluhnya. Tiba-tiba ia berhenti dan memandang penuh perhatian ke depan. Tadi melihat bayangan berkelebat dan kini tahu-tahu didepannya telah berdiri Si Wanita cantik berambut panjang yang tadi membunuh dua orang kakek itu! Bu Song memandang jantungnya berdebar. Dilihat sepintas lalu, wanita ini tidak menakutkan sama sekali. Bahkan amat menarik dan cantik, akan tetapi pandang matanya dingin dan kerut pada mulutnya membayangkan sesuatu yang mengerikan. "Mengapa engkau mengubur mereka?" Wanita itu bertanya, matanya tajam memandang penuh selidik Bu Song menengok ke belakang, ke arah kuburan kedua orang kakek itu, lalu ia balas memandang dan menarik napas panjang. Sedikit pun ia tidak takut kepada wanita ini dan teguran wanita itu bahkan mendatangkan rasa penasaran di dalam hatinya. Ia maklum bahwa wanita ini menderita batinnya dan berusaha menutupi penderitaan batinnya dengan sikap yang dingin dan keras. "Bibi, pertanyaanmu itu tidak pada tempatnya. Sepatutnya akulah yang bertanya mengapa Bibi membunuh mereka?" Wanita itu tercengang, agaknya sama sekali tidak menduga akan mendapat jawaban begini. "He, orang muda, jawab pertanyaanku. Jangan engkau main-main. Mengapa engkau mengubur mereka? Apamukah mereka itu?" "Bukan apa-apa, hanya sesama manusia. Melihat dua orang manusia terbunuh dan menjadi mayat di jalan, sudah menjadi kewajibanku untuk mengubur mereka. Aku dan juga Bibi sendiri pun kelak kalau mati membutuhkan bantuan orang lain untuk mengubur mayat kita." "Apa kau bilang? Orang muda, jaga baik-baik mulutmu. Tahukah kau bahwa sekali aku turun tangan kau takkan hidup lagi?" Alangkah herannya hati wanita yang ditakuti di dunia kang-ouw itu ketika melihat Si Pemuda tertawa geli mendengar ucapannya. "Bibi hanya membikin lelucon yang tidak lucu!" "Apa..., apa maksudmu?" tanyanya, saking herannya sampai memandang dengan mata terbelalak. "Bibi ini siapakah sampai dapat menguasai hidup matinya orang lain? Bibi tidak merasa memberi hidup kepadaku, bagaimana Bibi dapat menguasai hidup dan matiku?" "Apa? Kau menantang?" Tok-siauw-kwi lebih heran daripada marah. "Tidak ada yang menantang. Aku hanya mau katakan bahwa kalau DIA yang memberiku hidup menghendaki aku mati, tanpa Bibi turun tangan pun aku akan mati. Akan tetapi kalau DIA tidak menghendaki aku mati, biar ada seribu orang seperti Bibi turun tangan, aku tidak akan mati! Mati hidup berada di tangan Tuhan. Bibi ini siapakah hendak mengalahkan kekuasaan Tuhan? Padahal mati hidup Bibi sendiri berada di tangan-Nya! Dapatkah Bibi melawan maut apabila Tuhan menghendaki nyawa Bibi kembali ke asalnya?" Seketika pucat wajah Tok-siauw-kwi. matanya terbelalak dan ia meraba pipinya tanpa ia sadari. "Aku... aku tidak akan mati...!" Bu Song menggeleng-geleng kepalanya, lalu ia melangkahkan kaki pergi dari situ sambil berkata, "Bibi seorang yang patut dikasihani...!" Angin menyambar keras tahu-tahu wanita itu sudah berdiri menghadang di depannya. "Eh, bocah lancang. Kau bilang apa tadi?" "Aku bilang kau patut dikasihani sampai-sampai tidak mau mengakui kekuasaan Tuhan, dan mengingkari kenyataan bahwa semua manusia mesti mati. Bibi takut mati, itu berarti Bibi kehilangan pegangan dalam hidup, bahwa Bibi kehilangan keperibadian, bahwa Bibi menganggap hidup ini dapat kaupegang dan kaukuasai. Itulah sebabnya Bibi terlalu mudah membunuh orang mengira bahwa nyawa Bibi berada di tangan orang lain yang memusuhi Bibi. Ah, betapa sengsara hidup seperti Bibi ini." Makin pucat muka wanita itu. "Kau bohong! Aku tidak takut siapapun juga! kaulihat sendiri tadi. Mereka berdua memusuhiku akan tetapi tidak dapat melawanku. Siapa memusuhiku akan mati!" "Betulkah itu, Bibi? Mengalahkan orang lain bukan hal aneh, mengalahkan nafsu pribadi barulah perbuatan mulia! Makin banyak Bibi membunuh orang, makin banyak pula menanam bibit permusuhan dan makin sengsaralah hidup. Manusia hidup untuk saling bantu, saling tolong, bukan saling bermusuhan dan saling bunuh." "Habis, kalau dua orang keparat tadi memaksaku, apakah aku harus menyerahkan diri dibunuh begitu saja?" "Ah, Bibi kurang akal. Bibi sakti, apa sukarnya menjauhkan diri dari mereka yang memusuhi Bibi? Akan tetapi Bibi memang haus darah, suka membunuh, sungguh keji...!" Wanita itu marah sekali. Ia mengeluarkan lengking tinggi dan tangannya. Sudah diangkat ke atas. Dari tangan kanan itu keluar hawa yang amat panas, sedangkan bunyi melengking hebat itu sudah hampir merobohkan Bu Song yang tiba-tiba merasa dadanya seperti ditusuk-tusuk. "Keparat bermulut lancang! Siapa kau? Aku takkan membunuh orang tak bernama!" Bu Song tenang-tenang saja. Memang ia sendiri memandang hidup ini hampa dan penuh derita kecewa setelah kematian Eng Eng. Sama sekali ia tidak takut akan kematian yang mengancamnya. "Kalau Tuhan menghendaki aku mati dan Bibi berhasil membunuhku, berarti Bibi hanya membebaskan aku daripada belenggu hidup. Aku tidak akan rugi apa-apa, akan tetapi kau sendiri yang menambahi mata rantai yang membelenggu kehidupanmu, Bibi. Namaku Bu Song." "Bu Song...??" Mata itu terbelalak lebar dan muka yang cantik itu makin pucat. "Kau... kau... murid Kim-mo Taisu...?" "Beliau adalah guruku, akan tetapi aku tidak akan menggunakan nama Guruku untuk perisai nyawaku. Guruku sendiri tidak menguasai nyawaku, hanya Tuhan yang berhak akan mati hidupku!" "Plakkk!" Tangan itu menampar turun, akan tetapi yang ditampar bukan muka Bu Song, melainkan mukanya sendiri! wanita itu jatuh terguling, lalu menangis dan akhirnya melompat pergi cepat sekali. Hanya lengking tangisnya masih terdengar oleh Bu Song yang berdiri bengong, lalu menggeleng-geleng kepalanya. Kasihan, pikirnya. Wanita itu terlalu banyak dosa, terlalu banyak membunuh orang sehingga pikirannya tidak waras lagi! Ia lalu membalikkan tubuh dan melanjutkan perjalanannya menuruni lereng itu dengan langkah lebar. Tentu saja Bu Song sama sekali tidak pernah menduga bahwa wanita itu bukan lain adalah ibu kandungnya sendiri! Wanita itu adalah Tok-siauw-kwi Liu Lu Sian! Sikap pemuda lemah yang begitu berani menasihati dan menegurnya sudah membuat wanita ini terheran-heran, kemudian, menimbulkan kemarahannya yang luar biasa. Akan tetapi begitu ia mendengar bahwa pemuda itu adalah Bu Song, putera kandungnya sendiri, ia merasa seakan-akan mukanya ditampar oleh tangannya sendiri. Hampir saja ia tadi membunuh anak kandungnya sendiri! Anaknya begitu tampan dan gagah. Ingin ia memeluknya, mendekap kepala itu di dadanya. Akan tetapi betapa ia dapat melakukan hal itu setelah anaknya mengubur dua orang yang dibunuhnya? Ibu yang tersesat, seorang manusia iblis yang oleh anak itu sendiri disebut haus darah, suka membunuh dan keji! Alangkah akan jijik dan bencinya anak itu kepadanya! Tok-siauw-kwi Liu Lu Sian menangis sambil berlari cepat seperti terbang meninggalkan tempat itu. Kemudian ia menjatuhkan diri di bawah pohon besar dalam sebuah tempat ia bertemu anaknya tadi. Ia menangis menjambak-jambak rambutnya, membentur-benturkan kepalanya pada batang pohon di depannya. Lu Sian menjadi seperti gila dan pada saat itu ia hanya ingin mati! Tangisnya menjadi-jadi kalau ia teringat kepada Kwee Seng yang sudah memberi tahu bahwa puteranya itu selain menjadi muridnya juga akan menjadi mantunya. Bagaimana ia sebagai seorang ibu kandung dapat membiarkan putera tunggalnya menikah tanpa memberi restu dan tanpa menyaksikannya? Akan tetapi setelah pertemuan ini, betapa ia dapat menjumpai pemuda itu dan mengaku sebagai ibunya? SEBALIKNYA binatang itu adalah binatang yang mengandalkan hidupnya dengan kekerasan dan perkelahian. Maklum ia tidak dapat melepaskan diri dari jepitan yang amat kuat dan maklum pula bahwa lawannya ingin merampas wanita dalam panggulannya, ia sengaja melepaskan tubuh Eng Eng. Bu Song terkejut karena tiba-tiba tubuh Eng Eng dapat ia tarik sehingga hampir terbanting jatuh. Terpaksa ia melepaskan jepitan pada leher dan menerima tubuh Eng Eng. Siapa kira, monyet itu cerdik dan cepat sekali. Begitu lehernya dilepaskan, monyet itu membalik dan tiba-tiba Bu Song terpelanting karena perutnya dihantam sekerasnya dan di lain saat ketika tubuhnya terpelanting, Eng Eng telah berhasil diserobot kembali dan dipanggul terus dibawa lari. "Binatang jahat, hendak lari ke mana kau?" Bu Song sudah bangkit lagi dan mengejar. Monyet itu ketakutan. Agaknya ia tahu bahwa lawannya amat kuat, dihantam sedemikian kerasnya tidak mampus bahkan mengejar lagi. Cepat monyet itu melompat-lompat dari batu ke batu naik ke puncak. Puncak Api yang menakutkan. Sebagai seorang manusia, Bu Song yang tidak terlatih tentu saja payah mengejar seekor monyet yang mengambil jalan pendakian yang amat sukar itu. namun Bu Song tidak gentar dan terus mengejar, walaupun ia mulai tertinggal jauh. Bukan main sukarnya perjalanan ke puncak, amat curam dan sekali saja kaki terpeleset, tentu tubuhnya akan melayang ke bawah ratusan meter dalamnya dan akan terbanting hancur di atas batu-batu karang di sebelah bawah. Kalau saja ia tidak sedang marah dan gelisah memikirkan nasib Eng Eng, agaknya biar Bu Song seorang pemberani pun akan ngeri kalau melihat ke bawah. Ia mengejar terus dan hanya beberapa belas meter lagi monyet itu tentu akan mencapai puncak. "Binatang jahat, lepaskan dia...!" berkali-kali Bu Song berseru marah dan mempercepat pengejarannya. Tiba-tiba terdengar kelepak sayap dan tampaklah tubuh burung rajawali hitam yang besar itu menyambar turun. Melihat burung itu, Bu Song cepat berseru, "Hek-tiauw-ko Saudara Rajawali Hitam, tolonglah Eng Eng. Hajar monyet busuk itu!" Aneh sekali. burung itu agaknya mengenal Bu Song yang telah menolong anaknya dan agaknya mengerti pula bahwa monyet itu musuh Bu Song. Ia menyambar ke bawah dan dengan kuku-kuku yang runcing mengerikan ia mencengkeram ke arah kepala monyet yang memanggul tubuh Eng Eng! Namun monyet itupun bukan binatang sembarangan. Dengan geram marah monyet itu menggerakkan tangan kanannya menghantam. Burung rajawali menggerakkan sayapnya dan tubuhnya mumbul sedikit, mengelak hantaman monyet, kemudian mencengkeram lengan kanan monyet itu. "Ceppp... kraakkkk!" Sekali kedua kaki rajawali bergerak, lengan monyet itu hancur, daging kulitnya robek-robek, tulangnya patah-patah! Monyet itu memekik keras dan karena ia menggunakan tangan kirinya untuk menghadapi lawan yang kuat itu, tanpa terasa lagi ia melemparkan tubuh Eng Eng dari pundaknya. Untung Bu Song sudah tiba di situ dan cepat pemuda ini menubruk Eng Eng dan mencegah tubuh gadis itu terguling ke dalam jurang. Karena tempat di situ amat berbahaya dan satu-satunya tempat yang agaknya dapat dipakai merawat Eng Eng yang masih pingsan hanya di puncak yang tinggal beberapa meter lagi, Bu Song memanggul tubuh Eng Eng dan merayap naik sambil jalan memutar, menjauhi tempat pertempuran. Agaknya pekik monyet tadi telah menarik datang kawan-kawannya karena dari atas puncak itu berloncatan banyak sekali monyet besar-besar seperti yang menculik Eng Eng. Namun monyet pertama begitu memekik, kepalanya sudah hancur dicengkeram rajawali hitam, dan begitu monyet-monyet itu datang menyerbu, terjadilah pertandingan yang amat hebat dan menarik. Monyet-monyet itu liar dan ganas dan agaknya andaikata rajawali hitam tidak pandai terbang, tentu ia takkan sanggup menghadapi monyet yang puluhan banyaknya itu. Namun rajawali hitam adalah seekor burung raksasa, dikeroyok puluhan ekor monyet itu ia sama sekali tidak menjadi gentar, bahkan kelihatan gembira sekali. Sambil mengeluarkan suara menantang-nantang, burung itu terbang mengitari tempat itu dan sekali-kali menyambar ke bawah merobohkan seekor monyet. Monyet-monyet itu memekik-mekik marah, berjingkrakan dan ada pula yang menyambitnya dengan batu. Hiruk-pikuk di bawah puncak itu, ramai sekali pertandingan antara rajawali hitam yang dikeroyok banyak monyet.dwi loading... Kho Ping Hoo, Suling Emas PADA saat itu terdengar pekik dari puncak. Samar-samar terdengar suara Khu Gin Lin menjerit memanggil suaminya disertai pekik minta tolong.. "Celaka......!" Bagaikan kilat menyambar, tubuh Kwee Seng sudah berkelebat dan seperti terbang saja ia berlari ke puncak. Kakek lumpuh itupun bangkit dan menggunakan sepasang tongkatnya berlari mengejar, akan tetapi wajahnya sama sekali tidak membayangkan kekhawatiran, bahkan mulutnya tersenyum dingin. Dapat dibayangkan betapa kagetnya hati Kwee Seng ketika ia tiba di puncak, dari jarak jauh ia melihat isterinya, Khu Gin Lin, sedang bertanding seru melawan seorang laki-laki yang berjenggot pendek, berambut panjang seperti saikong dan memegang sebatang pedang. Isterinya pun berpedang, akan tetapi pedang di tangan isterinya itu tinggal sepotong, agaknya patah ketika bertanding. Laki-laki lawan isterinya itu hebat ilmu pedangnya dan isterinya yang memang kurang terlatih terdesak hebat sekali dan berada dalam keadaan bahaya. "Lim-moi... lari...!" teriak Kwee Seng dengan wajah pucat karena ia maklum bahwa setiap detik nyawa isterinya terancam bahawa. Ujung pedang lawan itu sudah mematahkan semua jalan keluar dan sudah mengancam hebat. Mendengar teriakan ini, Gin Lin timbul semangatnya dan memutar pedang buntungnya, namun sekali tangkis pedangnya terlepas. Kwee Seng meloncat dan mengeluarkan seruan keras sekali seperti seekor garuda memekik, namun terlambat. Gerakan pedang laki-laki itu amat cepatnya ketika menusuk dan... "blessss...!" Ujung pedangnya amblas ke dalam dada kiri Khu Gin Lin! Hanya beberapa detik Kwee Seng terlambat. Melihat hal mengerikan ini, Kwee Seng menggerang, tubuhnya mencelat maju dan tangan kirinya menampar. "Krakk!!!" Hebat bukan main tamparan ini. Tepat mengenai kepala penyerang yang masih memegangi gagang pedang yang menancap di dada kiri Gin Lin. Seketika pecah kepala itu, kedua biji matanya terloncat keluar dan otaknya muncrat bercampur darah, tubuhnya terkulai tak bernyawa lagi. Dengan gerakan aneh Kwee Seng menyambar tubuh isterinya yang terhuyung-huyung. Pedang itu masih menancap di dada kiri. Tak berani Kwee Seng mencabutnya, karena ia maklum bahwa hal itu berbahaya sekali. Dengan pedang menancap, berarti darah masih tertahan sementara. Ia memeluk dengan hati hancur karena mendapat kenyataan bahwa nyawa isterinya tak mungkin dapat tertolong lagi. Pedang itu menancap terlalu dalam, hampir menembus dada! "Lin-moi....... oh, Lin-moi...!" Ia mendekap dan air mata turun bertitik membasahi pipinya. Gin Lin membuka matanya dan tersenyum! "Kwee-koko... aku puas... akhirnya aku dapat mengorbankan nyawa untuk berbakti kepada orang tua dan keluarga, untuk Kerajaan Tang...! Aku puas... dia... dia... sengaja datang mencari aku... begitu aku mengakui namaku, dia... terus menyerang...." Ia terbatuk payah, lalu merangkul leher suaminya, mencium pipinya.. "Koko... jaga baik-baik anak kita... kawinkan dengan Bu... Song..." Tiba-tiba mata itu terpejam, leher itu lemas dan nyawa Gin Lin meninggalkan tubuhnya. "Lin-moi...!" Kwee Seng mendekap muka isterinya itu ke dada, sejenak ia memejamkan matam, menahan napas. Kemudian ia sadar kembali, perlahan mengangkat tubuh isterinya, membawanya masuk ke dalam pondok. Ketika ia keluar lagi dengan muka pucat, ia melihat Kong Lo Sengjin ikut mengamuk, menusuk-nusuk mayat laki-laki itu dengan kedua tongkatnya sampai hancur lebur! "Dia adalah seorang di antara musuh-musuhku! Lihat ini, di sakunya ada surat penantang Ban-pi Lo-cia ditujukan kepadaku! Aku mengenal dia ini seorang jagoan di pantai timur yang ikut bersekutu menjatuhkan Kerajaan Han!" Kwee Seng tidak memperhatikan ucapan itu, akan tetapi ia menerima surat itu dan membacanya. Sebuah surat tantangan! Ditandatangani oleh Ban-pi Lo-cia yang isinya menantang Kong Lo Sengjin datang ke muara Sungai Kuning d Laut Po-hai. "Aku akan mencari mereka..." seperti dalam mimpi Kwee Seng menggelengkan kepalanya. "Harap Paman berangkat lebih dulu. Aku tidak berjanji apa-apa, akan tetapi kalau Paman bertemu dengan mereka, katakanlah bahwa Kim-mo Taisu akan menemui mereka, biarpun mereka bersembunyi dalam neraka sekalipun!" Kong Lo Sengjin mengangguk-angguk. "Begitupun baik, akan tetapi bulan pertama tahun depan mereka berkumpul di lembah Sungai Kuning di Laut Po-hai. Nah, sampai ketemu lagi!" Kakek itu tanpa mempedulikan kematian keponakannya, lalu berkelebat dan pergi dari puncak Min-san. Kwee Seng memasuki pondok, berlutut di samping jenazah isterinya, menahan getaran hatinya ketika mendengar suara Bu Song dan Eng Eng di luar pondok. Mendengar Eng Eng berseru tertahan dan Bu Song yang juga kaget. Agaknya mereka menemukan mayat yang hacur di luar pondok, pikir Kwee Seng seperti dalam mimpi. Lalu kedua orang muda itu berlari-lari, membuka pintu pondok dan... "Ayah...??" Eng Eng lari mendekati ayahnya yang duduk bersila seperti patung, kemudian ia memandang ke atas pembaringan depan ayahnya. "Ibu...??!!" Ia memeluk, lalu melihat pedang yang menancap di dada ibunya. "Ibu...!! Ibu...!!! Ibuuu...!!!" Eng Eng memeluk dan terguling, pingsan di samping mayat ibunya. Semenjak kematian isterinya, Kwee Seng atau Kim-mo Taisu berpekan-pekan selalu duduk termenung, bersamadhi di dalam kamarnya. Jarang ia keluar, jarang pula ia suka makan hidangan yang disediakan puterinya. Puncak Min-san seperti kosong, sunyi dan gelap, seakan-akan selalu tertutup mendung kedukaan. Biarpun di dalam hatinya Kim-mo Taisu tidak pernah mencinta isterinya seperti seorang pria mencinta wanita, namun ia mendapatkan seorang isteri yang berbudi dalam diri Gin Lin. Seorang teman hidup yang menyenangkan dan ia merasa amat iba kepada wanita itu. Kini ia merasa menyesal mengapa hatinya tak pernah menjatuhkan cinta kasihnya kepada Gin Lin, wanita yang demikian baiknya, melainkan masih saja terikat kepada Lu Sian. Ia merasa menyesal dan berdosa kepada isterinya. Ia harus membalas dendam. Biarpun pembunuh isterinya telah ia bunuh pula, namun ia harus mencari orang-orang yang memusuhi Kong Lo Sengjin dan isterinya. Keadaan yang merupakan perubahan besar ini amat mempengaruhi pula jiwa Kwee Eng. Gadis ini menjadi sedih melihat ayahnya yang selalu termenung dan berduka seperti seorang yang kehilangan semangat. Sore hari itu, Kwee Seng baru keluar dari kamarnya, akan tetapi ia tidak melihat puterinya. Hanya melihat Bu Song yang sedang duduk di depan pondok membaca kitab. Melihat gurunya keluar, Bu Song cepat menghentikan bacaannya dan segera memberi hormat. Suaranya terharu ketika ia berkata. "Maafkan teecu yang berlancang mulut, Suhu. Akan tetapi teecu ingat betapa tidak baiknya membiarkan diri hanyut diseret dan ditenggelamkan perasaan yang dibiarkan berlarut-larut tanpa dilawan akan berubah menjadi racun yang melemahkan batin?" Sejenak Kim-mo Taisu memandang muridnya yang berdiri dengan sikap hormat dan yang menundukkan muka. Ia tersenyum pahit dan menjawab. "Terima kasih, Bu Song. Aku tidak lupa akan kenyataan itu. Akan tetapi... ah, betapa lemahnya manusia. Dan engkau tidak tahu pula betapa hebat penderitaan batinku selama itu. Akan tetapi, bukanlah peristiwa ini saja yang membuat hatiku jatuh, muridku, melainkan hal-hal yang mendatanglah yang membuat aku prihatin. Aku harus pergi, akan tetapi betapa aku dapat meninggalkan Eng Eng seorang diri? Bu Song, berjanjilah engkau bahwa engkau bersedia melindungi adikmu Eng Eng selamanya." Pemuda itu mengangkat mukanya yang membayangkan kesungguhan hatinya, memandang gurunya dengan sinar mata yang jujur. "Teecu berjanji untuk melindungi Eng-moi selama teecu hidup!" Tergetar jantung Kwee Seng menatap wajah muridnya ini. Terbayang kekerasan hati Lu Sian pada wajah itu dan ia menaruh kepercayaan penuh kepada pemuda ini. "Bu Song, apakah kau mencinta Eng Eng?" Wajah itu tidak berubah dan sinar matanya masih penuh kejujuran. "Tentu saja Suhu, teecu mencinta Adik Eng Eng." "Mencinta seperti adik kandung?" "Benar, Suhu." "Ah, aku tidak ingin kau mencintanya seperti adik kandung." Bu Song terkejut. "Maksud Suhu...?" Kim-mo Taisu memegang pundak wajahnya dengan pandang mata tajam. "Aku ingin kau mencintanya seperti seorang pria mencinta wanita! Seperti seorang laki-laki mencinta calon isterinya!" Seketika wajah pemuda itu menjadi merah sekali dan ia menundukkan mukanya, menjawab gagap, "Ah, ini... ini..." Jawablah sejujurnya, Bu Song. Dapatkah kau mencintanya seperti itu...?" dengan hati perih Kim-mo Taisu bertanya, karena ia tidak ingin puterinya mendapatkan suami yang baik akan tetapi tidak mencintanya, seperti mendiang ibunya. Bu Song mengangguk. "Memang teecu..... mencintanya seperti itu, Suhu... hanya tentu saja tadinya tak berani mengaku..." "Bagus! Legalah hatiku. Bu Song, kalau begitu kau tentu bersedia menjadi suami Eng Eng, bukan?" Pemuda yang memiliki hati yang kuat itu telah dapat membebaskan diri dari rasa malu dan canggung. Kini ia mengangkat muka memandang gurunya dan menjawab dengan sungguh-sungguh, "Suhu, teecu menghaturkan beribu terima kasih kepada Suhu yang tidak saja telah mengangkat teecu dari lumpur kehinaan, mendidik teecu, juga kini menganugerahi teecu menjadi calon mantu. Hanya teecu sendiri dan Thian yang mengetahui betapa besar rasa terima kasih itu. Tentu saja teecu bersedia sehidup semati dengan Eng-moi. Akan tetapi, Suhu. Bagaimana teecu berani lancang menjadi suami Eng-moi kalau keadaan teecu seperti ini? Teecu sebatang kara, miskin dan tidak bekerja. Sungguh teecu akan menyesal seumur hidup kalau kelak hanya akan menyia-nyiakan harapan Suhu dan menyeret Eng-moi dalam kehidupan miskin sengsara." Kim-mo Taisu menepuk-nepuk pundak Bu Song. "Hemm, anak baik. Kau mempunyai cita-cita apakah? Katakan padaku." "Semenjak kecil teecu mempelajari sastra. Tentu pelajaran itu akan menjadi sia-sia belaka kalau tidak teecu pergunakan. Teecu ingin sekali mengikuti ujian di kota raja..." Kim-mo Taisu mengerutkan kening. Teringat ia akan pengalamannya sendiri ketika ia masih muda. Ia pun dahulu bercita-cita demikian, namun cita-cita itu kandas karena pada masa itu tak mungkin orang dapat lulus ujian kalau tidak mampu memberi uang suapan yang besar kepada para petugas. Oleh karena itu, ia dapat memaklumi isi hati calon mantunya. "Baiklah, Bu Song. Perjodohanmu dengan Eng Eng tidak tergesa-gesa. Cukup bagiku asal kalian sudah bertunangan. Kau boleh menempuh ujian di kota raja dan setelah itu, lulus atau gagal, kau harus melangsungkan pernikahanmu dengan Eng Eng. Biar aku sendiri yang akan menyelidiki ke kota raja. Mudah-mudahan sekarang sudah ada perubahan dan mudah-mudahan Kerajaan Cou Muda yang baru ini tidak lagi mempraktekkan keburukan jaman lama Dinasti Tang. Eh, di mana Eng Eng?" Bu Song menghela napas. "Sejak Ibu Guru meninggal, karena melihat Suhu setiap hari menutup diri dan tenggelam berduka cita. Kalau Suhu tidak mau makan, Eng-moi pun tidak suka makan. Kalau Suhu sudah tidur, barulah Eng-moi mau mengaso. Kerjanya hanya menangis setiap hari dan teecu sampai bingung bagaimana harus menghiburnya." Naik sedu-sedan ditenggorokan Kim-mo Taisu. "Ahhh, salahku... salahku... mengapa aku selemah ini, Bu Song." Ia memandang wajah muridnya yang agak kurus dan pucat. "Kau pun tentu ikut pula kurang makan kurang tidur! Jangan bohong." "Melihat keadaan Suhu dan Eng Moi, bagaimana teecu bisa senang? Semua akibat sambung menyambung. Subo meninggal dan Suhu berduka. Suhu berduka dan Eng-moi bersusah. Eng-moi bersusah, teecu bingung merana." "Ah, memang aku bersalah, Bu Song. Lekas kau susul Adikmu dan suruh pulang!" Bu Song girang hatinya. Bukan hanya girang karena berita tentang pertunangannya dengan Eng Eng atau tentang maksud suhunya menyuruh dia mengikuti ujian di kota raja, melainkan terutama sekali girang karena perubahan suhunya ini tentu akan mengubah pula keadaan Eng Eng. Ia melangkah lebar dan berjalan cepat mendaki sebuah puncak di mana ia yakin tentu Eng Eng berada. Ia tidak tahu betapa suhunya mengawasi dari belakang lalu menarik napas panjang dan berkata seorang diri. "Anak baik sekali! Mutiara belum tergosok. Kelak ia akan menjadi pendekar yang sukar dicari bandingannya. Akan tetapi bagaimana dapat menggerakkan hatinya untuk menjadi pendekar? Kematian isteriku tentu lebih membuat ia benci akan ilmu silat. Jelas tampak dimukanya betapa ia menyalahkan ilmu silat dalam peristiwa ini!" Tepat seperti dugaan Bu Song, ia mendapatkan Eng Eng duduk berlutut di atas tanah di puncak yang sunyi, menangis sesenggukan. Bu Song berhenti dan memandang dengan hati perih. Kasihan sekali, pikirnya. Akan tetapi ketika ia melangkah mendekat, tidak seperti biasanya jantungnya berdebar aneh. Rasa iba hatinya bercampur dengan rasa yang aneh, yang membuat jantungnya berdebar dan mukanya terasa panas. "Eng-moi...!" Ia memanggil lirih. Sejenak isak itu terhenti dan Eng Eng menoleh, memandang kepada Bu Song dengan mata basah. Kemudian ia menangis lagi sambil berkata, "koko, mau apa kau menyusulku di sini? Tinggalkanlah aku seorang diri..." tangisnya makin menjadi. Bu Song maju mendekat, berlutut dan menyentuh pundak gadis itu. "Eng-moi, mengapa kau menyiksa diri seperti itu? Menyerahlah kepada keadaan, Moi-moi. Ahh... apakah yang kekal di dunia ini? Sewaktu-waktu maut pasti merenggut, memisahkan kita dari orang yang kita sayang. Bahkan setiap saat dapat saja maut merenggut nyawa kita sendiri. Moi-moi, kuatkanlah hatimu, tenangkan batinmu. Ah, sakit rasa hatiku melihatmu sehari-hari menangis begini..." "Song-koko...!" Gais itu makin keras menangis dan menutupkan muka pada dada pemuda yang berlutut di depannya. Bu Song mendekap kepala itu, jantungnya berdebar penuh kasih sayang. Setelah tangis gadis itu berkurang, ia perlahan mengangkat muka itu dari dadanya, memegang kedua pipi gadis itu dan memandang mukanya. Sepasang mata jeli yang memerah, hidung kecil mancung yang ujungnya merah dan pipi yang basah air mata, pipi yang agak pucat dan kurus. "Moi-moi, kau kehilangan Ibumu, akan tetapi di sini masih ada aku, masih ada Ayahmu. Aku akan menjagamu, akan menemanimu selamanya, Moi-moi." Air mata bercucuran keluar dari mata Eng Eng dan gadis ini terisak sambil memejamkan matanya. Tak tahan Bu Song menyaksikan ini dan ia menundukkan mukanya. Bibirnya menyapu ujung hidung, mengecap air mata dari pipi. "Ah-hu-hu-hu...!" Eng Eng menangis lagi dan mendekapkan muka pada dada yang bidang itu. Bu Song menghela napas dan mengelus-ngelus rambut yang hitam halus. Tiba-tiba Eng Eng mendorongkan kedua tangannya pada dada Bu Song. Biarpun tangan gadis itu kecil halus, namun ia memiliki tenaga lwee-kang, maka tubuh Bu Song terjengkang ke belakang! Pemuda itu kaget, cepat merayap bangun dan memandang. Gadis itu masih duduk di tanah, air matanya masih bertitik akan tetapi tidak menangis lagi, mulutnya cemberut dan ia menegur, nada suaranya marah. "Song-koko... apa yang kaulakukan tadi...??" "...apa...? Mengapa...? Ah, aku... menciummu... aku kasihan..." "Engkau nakal!" "Moi-moi, bukan baru sekarang aku menciummu!" Bu Song memperotes. "Memang sejak kita masih kecil kau suka mencium, memang tukang cium! Akan tetapi, kau biasa hanya mencium pipi. Kenapa tadi kau....... kau mencium hidung...??" Mata itu tidak menangis lagi, kini memandang marah. "Ah, maaf, Moi-moi. Aku tidak... tidak sengaja... aku... aku..." Aneh sekali. Terbayang senyum di bibir merah itu. "Sudahlah! Aku bukan marah karena kau mencium, melainkan... ah, hidung dan pipiku kotor, aku sedang menangis, penuh air mata, mengapa kau tidak menunggu mukaku bersih kalau mencium?" Bu Song tercengang. Sungguh masih seperti kanak-kanak! Akan tetapi memang sejak kecil Eng Eng tinggal di puncak gunung, jarang bergaul dengan orang banyak. Dialah satu-satunya kawan bermain, seperti kakak dan adik. Eng Eng masih kekanak-kanakan. Akan tetapi ayahnya sudah bicara tentang jodoh! "Eng-moi, mari kita pulang." Dia membungkuk dan menyentuh pundak gadis itu. "Hari sudah hampir petang." "Tidak, aku tidak pulang!" kata Eng Eng merajuk dan jari tangannya menghapus air matanya yang mulai keluar lagi. "Untuk apa pulang melihat Ayah bersusah saja? Aku tidak pulang, biar tidur di sini!" Aihh, jangan begitu, Moi-moi. Suhu sekarang sudah sadar kembali, tadi sudah keluar pondok dan menanyakanmu. Suhu mengharap-harap pulangmu, Moi-moi." "Kau bohong!" "Wah, kapan aku pernah membohongimu? Marilah adik manis, tuh Ayahmu menanti di sana. Sebentar lagi gelap di sini dan Suhu tentu akan marah kalau aku tidak pulang bersamamu. Marilah...!" Ia menarik tubuh gadis itu berdiri. Eng Eng seperti sengaja berlambat-lambat dan merajuk manja sehingga ia setengah diseret oleh Bu Song. "Marilah, Moi-moi. Apakah kau masih marah kepadaku? Boleh kau memukulku agar puas hatimu!" "Siapa mau pukul? Aku tidak marah!" Akan tetapi suaranya ketus. "Kalau tidak marah marilah kita jalan cepat-cepat, ayahmu menanti." "Kau janji dulu!" "Janji apa?" "Lain kali mau cium, harus bilang." Bu Song menahan senyum. "Mengapa?" "Biar kubersihkan dulu pipi dan hidungku." Bu Song tak dapat menahan lagi senyumnya. Ia menjura dan mengangkat kedua tangan di depan dada. "Baiklah, baiklah, Nona. Dan ampunkan aku....!" Eng Eng terkekeh ketawa lalu tubuhnya berkelebat lari turun dari puncak itu meninggalkan Bu Song. Bu Song juga tertawa dan mengejar, akan tetapi tentu saja ia tidak mampu mengejar gadis yang terlatih baik memiliki gin-kang yang lumayan itu. Karena itu Bu Song lalu tidak mengejar lagi. Ia berjalan seenaknya. Biarlah Eng Eng pulang lebih dulu, pikirnya, agar tidak canggung rasanya bagi gadis itu kalau ayahnya memberi tahu tentang perjodohan. Sambil tersenyum-senyum Bu Song melanjutkan perjalanan pulang perlahan-lahan, hatinya girang sekali dan ia mengenang gadis kekasihnya itu yang menjadi teman bermain sejak kecil. Semenjak kecil, Eng Eng memang lincah jenaka sekali, kadang-kadang amat nakal dan manja. Semenjak kecil, karena hubungan mereka seperti kakak beradik, tidak jarang ia mencium pipi Eng Eng, ciuman kanak-kanak dan setelah mereka menjadi besar, ciuman mereka itu menjadi ciuman saudara. Akan tetapi tadi, terus terang harus ia akui bahwa ketika ia tadi mencium Eng Eng, berbeda sekali perasaannya dengan biasanya. Agaknya perasaan inilah yang mengagetkan Eng Eng. Ia tersenyum lagi, kemudian Bu Song bersenandung. Kegembiraan hatinya membuat ia bernyanyi-nyanyi perlahan. Gurunya benar. Ia tidak hanya mencintai Eng Eng sebagai seorang kakak, malah lebih dari itu, ia mencintai Eng Eng sebagai seorang pria mencintai seorang wanita! Sebagai cinta gurunya terhadap ibu gurunya! Karena sejak kecil hidupnya selalu di puncak dekat guru dan ibu gurunya, maka kedua orang tua inilah yang ia jadikan contoh dan ia gembira sekali. Guru dan ibu gurunya selalu hidup rukun, dan ia akan senang sekali kalau dapat melanjutkan hidup bersama Eng Eng sebagai isterinya. Ketika ia tiba dekat pondok, Bu Song melihat Eng Eng menangis. Gadis ini bersembunyi di balik pohon tak jauh dari pondok. Di depan pondok itu terdengar dua orang berbantahan dengan suara keras. Ternyata mereka itu adalah Kim-mo Taisu dan Kong Lo Sengjin, kakek lumpuh yang dikenal oleh Bu Song sebagai paman ibu gurunya yang meninggal dunia. Melihat wajah Eng Eng pucat sekali, Bu Song kaget dan heran. Akan tetapi ia pun tidak berani muncul dan hanya melihat dari jauh. Ia hanya mendengar ucapan Kong Lo Sengjin yang suaranya parau. "Nah, Kwee Seng! Jangan dikira aku tidak tahu akan riwayatmu yang busuk itu! Sekali lagi kutekankan, engkau tidak berhak menentukan perjodohan Eng-jin! Mau enaknya saja engkau ini! Sekarang pun, apa tanda setiamu terhadap isteri? Isteri terbunuh, musuh berkeliaran, dan kau enak-enak di sini. Inikah yang disebut orang gagah?" "Kong Lo Sengjin. Kau pergilah," jawab gurunya, suaranya mengandung duka dan marah. "Tentang anakku, tak boleh orang lain turut campur, engkau sendiri pun tidak boleh! Soal membalas, tentu saja akan kulakukan. Kaulihat saja, Kim-mo Taisu takkan berhenti sebelum semua musuh terbasmi habis!" Kakek lumpuh itu tertawa bergelak. "Ha-ha-ha, inilah baru ucapan seorang pendekar sejati, seorang patriot sejati! Karena isterimu meninggal, engkau bukan keponakanku lagi, Kim-mo Taisu, melainkan seorang sahabatku, sahabat seperjuangan. Ha-ha-ha!" "Sayang sekali bukan begitu, Kong Lo Sengjin! Jalan kita berpisah biarpun musuh-musuh kita sama. Nah, kau pergilah!" Sambil terbahak-bahak Kong Lo Sengjin berkelebat pergi di atas sepasang tongkatnya. Eng Eng tersedu dan berlari menghampiri ayahnya yang memeluknya dan membiarkan gadis itu menangis Bu Song tak berani bergerak. Untung pada waktu itu cuaca sudah mulai gelap sehingga kedua orang ayah dan anak itu agaknya tidak melihatnya. Ia terheran-heran dan bingung. Apakah yang terjadi? Ia merasa menyesal mengapa tadi tidak mengejar Eng Eng sehingga kini agaknya ia terlambat datang dan tidak tahu apa yang terjadi sebelum ia datang. Apa sesungguhnya yang terjadi? Hanyalah perbantahan antara Kim-mo Taisu dan Kong Lo Sengjin, namun bantahan yang isinya menghancurkan hati Eng Eng yang kebetulan datang dan mendengar sambil bersembunyi karena ia takut melihat ayahnya bicara keras dengan paman ibunya yang sejak dahulu menimbulkan rasa takut di hatinya. Mula-mula ia mendengar ayahnya membentak keras. "Tidak! Urusan jodoh anakku adalah ditanganku, tiada orang lain boleh mencampurinya! Akulah yang berhak menentukan, karena bukankah aku ayahnya?" Kong Lo Sengjin tertawa mengejek. "Kwee Seng, berani kau membuka mulut besar setelah isterimu meninggal? Kaukita aku tidak tahu betapa kau dahulu meninggalkan Gin Lin karena kaukira dia nenek-nenek? Betapa kau meninggalkan dia menderita seorang diri, mengandung dan melahirkan Eng Eng karena perbuatanmu? Tak ingatkah engkau bahwa perbuatanmu yang hina itu, Gin Lin menjadi wanita ternoda dan Eng Eng menjadi anak tanpa ayah, anak yang lahir dari perhubungan gelap? Dan akulah orangnya yang mengangkat Gin Lin dan anaknya dari sengsara. Setelah Eng Eng besar, setelah Gin Lin ternyata seorang gadis cantik, baru kau muncul dan mengaku sebagai suami Gin Lin, sebagai ayah Eng Eng! Huh, tak bermalu! Kini Gin Lin dibunuh orang, engkau enak-enak saja, sebaliknya kau mengukuhi hakmu sebagai ayah Eng Eng." "Kong Lo Sengjin, tutup mulutmu! Kalau tidak, jangan sesalkan kalau aku terpaksa melawanmu!" Kim-mo Taisu membentak marah. "Aha, kaukira aku takut? Kaukira engkau gagah? Kegagahanmu untuk melawan Paman Gin Lin karena aku tahu rahasiamu? Ha-ha-ha! Bukannya mencari musuh-musuh Gin Lin, sebaliknya engkau malah hendak melawan aku! Boleh, engkau boleh menjadi musuhku, akan tetapi sekali-kali engkau tidak boleh mengaku sebagai ayah Eng Eng! Gin Lin hanyalah kekasihmu barangkali, akan tetapi bukan isterimu. Bilakah engkau menikah dengan keponakanku itu? Siapa saksinya? Ha-ha-ha!" "Diam!!" Kim-mo Taisu membentak lagi. "Kong Lo Sengjin, kuminta kepadamu, jangan ulangi semua itu. Baiklah, kuakui bahwa memang aku telah meningalkan Gin Lin di Neraka Bumi, akan tetapi aku tidak mengira bahwa dia telah mengandung! Dan aku telah memperbaiki semua kesalahan, dan aku berjanji pula akan membasmi musuh-musuhnya." "Ha-ha-ha! Betulkah itu? Kau berani menghadapi Tok-siauw-kwi?" Kong Lo Sengjin mendesak. "Aku pun tahu bahwa cintamu bukan kepada Gin Lin melainkan kepada siluman betina itulah. Pat-jiu Sin-ong sudah menceritakan semuanya kepadaku! Jenderal Kam Si Ek sudah menceritakan semuanya kepadaku! Ha-ha-ha, alangkah lucunya. Engkau yang patah hati menjadi buta, Gin Lin yang menyamar nenek-nenek sekalipun engkau tubruk. Sebaliknya, Tok-siauw-kwi tanpa mempedulikan cintamu telah berpesta pora dan bermain gila, menghabiskan para bangsawan muda di Hou-han. Dia pun termasuk komplotan yang memusuhi aku, memusuhi Gin Lin, dialah seorang diantara musuh-musuh yang menyebabkan kematian Gin Lin. Beranikah kau kini membalas kepadanya?" Kim-mo Taisu merasa kepalanya berdenyut-denyut. Pening kepalanya, sakit hatinya. Akan tetapi apa hendak ia jawab? Ucapan kakek keji ini semua tepat dan benar. Terbayang di depan matanya betapa ia telah mengalami hal-hal yang amat memalukan, betapa semua itu menjadi bukti dari pada kelemahan batinnya terhadap asmara. "Pergilah...! Aku akan menghadapinya... kau pergilah!" Hanya demikian ia menjawab dan pada saat itulah Bu Song datang dan mendengar percakapan selanjutnya. Pemuda ini sama sekali tidak tahu bahwa tadi telah terjadi percakapan yang menyinggung-nyinggung ibunya. Namun, andaikata ia mendengar sekalipun, ia tidak akan tahu bahwa Tok-siauw-kwi adalah ibu kandungnya. Bu Song masih belum berani keluar ketika melihat Eng Eng tersedu-sedu dalam pelukan ayahnya. Baru setelah mereka memasuki pondok, ia berani mendekati pondok. Malam itu Kim-mo Taisu dan Eng Eng tidak keluar lagi dan Bu Song mendengar betapa Eng Eng bergelisah di dalam kamarnya, kadang-kadang menangis. Adapun gurunya terdengar menarik napas berulang-ulang dalam kamar samadhinya. Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali Kim-mo Taisu sudah memanggilnya menghadap. "Bu Song," kata guru ini yang mukanya pucat, "Kaukumpulkan semua persediaan akar-akar obat yang sudah kering, juga kulit ular dan harimau yang sudah kering, pilih yang baik-baik. Kemudian kaubawa semua itu turun ke lereng barat dan temui Paman Kui Sam." "Suhu maksudkan Kui Sam lopek di dusun Hek-teng?" Bu Song menjelaskan. Ia mengenal Kui Sam si pedagang keliling yang banyak menceritakan tentang kota raja dan kota-kota besar lainnya dalam perantauannya. "Betul, dia. Berikan semua barang itu kepadanya dan katakan agar ia tukar dengan lima stel pakainan sekolah untukmu, kemudian sisanya supaya dia persiapkan saja, nanti kalau aku hendak pergi, kuambil uangnya." Berdebar jantung Bu Song. Jelas bahwa ia benar-benar akan disuruh mengikuti ujian ke kota raja! Tak enak hatinya. Akar-akar obat dan kulit ular dan harimau itu adalah simpanan mereka, hasil perburuan bertahun-tahun. "Suhu, selain pakain untuk teecu, apakah tidak ada lain pesanan? Pakaian untuk Eng-moi, untuk suhu sendiri, atau keperluan..." Kim-mo Taisu menggeleng kepala. "Bu Song ketahuilah. Aku akan segera turun gunung pergi ke kota raja, mencarikan tempet untukmu. Kau jaga Adikmu baik-baik sampai aku pulang. Setelah aku pulang, kaulah yang akan pergi mengikuti ujian. Setelah itu baru kelak kita bicara tentang yang lain-lain..." Guru ini menarik napas panjang dan Bu Song tidak berani membantah lagi. Sepat ia mengumpulkan barang itu, mengikatnya menjadi satu, menggulung kulit dan menyiapkan pikulan. Barang-barang itu sudah kering, tidak terlalu berat, apalagi Bu Song sudah biasa turun naik puncak sambil memikul beban. Sudah menjadi pekerjaannya sehari-hari. Ia agak merasa heran mengapa Eng-Eng belom juga muncul. Ingin ia bertemu dengan gadis itu sebelum ia pergi ke dusun Hek-teng. Akan tetapi karena matahari sudah mulai muncul dan gadis itu belum keluar, ia tidak berani menanti lebih lama lagi, lalu dipikulnya barang-barang itu dan mulailah ia menuruni puncak menuju kedusun Hek-teng yang letaknya dilereng Gunung Min-san bagian barat. Hari sudah siang ketika ia tiba di dusun Hek-teng dan langsung ia menuju kerumah Kui Sam. Pedagang itu girang sekali menerima kiriman barang-barang yang baginya amat berharga dan menguntungkan itu. Kalau barang-barang ini dibawa ke kota akan menghasilkan uang banyak. Akan tetapi pada saat Bu Song tiba di situ, Kui Sam sedang sibuk sekali dan di situ berkumpul semua penduduk dusun Hek-teng. Maka sesingkatnya saja Bu Song menyampaikan semua pesan suhunya yang diterima baik oleh Kui Sam, kemudian Bu Song bertanya, "Kui Sam lopek, ada apakah ramai-ramai ini? Mengapa semua paman berkumpul di sini dan menyiapkan tombak dan obor seperti orang mau perang saja?" "Kebetulan sekali Kongcu datang kesini. Tentu Kongcu sebagai murid Kim-mo Taisu akan dapat membantu kami mengusir atau membinasakan musuh ganas!" kata seorang diantara penduduk Hek-teng yang mewakili Kui Sam menjawab. Muka Bu Song menjadi merah. "Ah, maafkan paman. Biarpun aku benar murid Suhu, namun aku bukan belajar ilmu silat, melainkan belajar ilmu sastra. Oleh karena itu, mana aku mampu berkelahi dan membunuh orang?" Tentu saja para penduduk dusun itu tidak ada yang mau percaya. Mereka anggap sudah wajar seorang pendekar murid orang sakti selalu merendahkan diri, rendah hati dan pura-pura lemah. "Wah Kongcu terlalu merendah!" Kui Sam tertawa bergelak. "Gurumu memilki kepandaian seperti malaikat, tentu muridnya lihai sekali. Pula kami buan hendak membunuh orang, karena musuh kami bukan orang." "Bukan orang? Lalu... apakah musuh kalian?" "Burung-burung raksasa yang dalam waktu sebulan ini sudah menghabiskan sepuluh ekor domba kami!" "Oohhh... agaknya hek-tiauw rajawali hitam yang pernah disebut-sebut Suhu," kata Bu Song kagum. Pernah ia bersama Suhunya pada suatu senja melihat titik hitam tinggi di angkasa, makin lama titik itu makin besar dah akhirnya tampaklah seekor burung hitam melayang-layang amatlah gagahnya. Tadinya Bu Song menyangka bahwa burung itu seekor garuda, akan tetapi suhunya segera menerangkan, "Bukan, burung itu adalah seekor hek-tiauw yang sukar dilihat. Agaknya ia datang kesini untuk mencari-cari tempat yang aman untuk bersarang dan bertelur." "Mungkin sekali," kata Kui Sam. "Besarnya bukan main, ganas dan kuat. Sebuah kakinya mampu mengcengkram domba. Paling akhir ia mengcengkram dua ekor domba dan dibawanya terbang dengan mudah. Memang bulunya agak kehitaman, akan tetapi matanya merah seperti menyala." Bu Song makin tertarik. "Lalu kalian hendak menyerbunya secara bagaimanakah? Dia pandai terbang, bagaimana kalian dapat mengejarnya?" "Kami akan menyerbu sarangnya, Kongcu. Sudah kami ketahui di mana sarangnya, di puncak batu karang sebelah selatan. Agaknya dia bertelur di sana. Kita akan obrak-abrik sarangnya tentu dia akan lari ketakutan dan biar dia minggat mencari tempat lain! Hendak kami lihat apakah dia berani melawan api, ha-ha!" Bu song tertarik sekali. "Boleh aku ikut menonton?" "Ha-ha, tentu saja boleh. Dengan adanya Kongcu, kami makin tidak takut terhadap burung raksasa itu," jawab mereka. Berangkatlah rombongan itu sebanyak dua puluh lima orang. Kui Sam menjadi pemimpin rombongan berjalan di depan. Bu Song berjalan di sampingnya. Mereka bernyanyi-nyanyi dan bersenda-gurau seperti seregu pasukan hendak maju perang melawan musuh! Diam-diam Bu Song mengalami kegembiraan yang belum pernah ia rasakan selama ini. Orang-orang ini benar gagah, pikirnya. Perjalanan mulai sukar, mendaki sebuah puncak yang penuh batu-batu seperti karang, runcing tajam dan kasar. Namun mereka adalah penduduk gunung yang sudah biasa melalui jalan seperti itu, maka perjalanan dapat dilanjutkan tanpa banyak kesukaran. Hanya kini tidak ada yang bernyanyi lagi, tidak ada yang bersendau-gurau, karena keringat telah membasahi tubuh yang telah membasahi tubuh yang lelah dan hati mulai berdebar tegang. Makin dekat dengan sebuah batu karang berbentuk menara yang menjulang tinggi di puncak, makin berdebarlah hati mereka. Di ujung batu karang itulah si burung raksasa bersarang. Akhirnya mereka tiba di bawah batu karang seperti menara itu, terengah-engah menyusuti keringat. Tiba-tiba terdengar bunyi bercicit-cicit nyaring di atas batu karang, lalu terdengar kelepak sayap dan... mereka menjadi gelisah ketika tampak seekor burung hitam raksasa terbang melayang keluar dari atas batu karang. Inilah si Rajawali Hitam yang ganas itu. Bulunya kehitaman, matanya mencorong seperti api bernyala. "Cepat nyalakan obor!" seru Kui Sam dan ramai-ramai mereka nyalakan obor. Ada yang mulai melepas anak panah ke arah burung itu karena si Rajawali kadang-kadang menyambar ke bawah sambil memekik-mekik nyaring. Akan tetapi, anak panah itu disampok runtuh oleh sayapnya yang besar seakan-akan anak-anak panah itu hanyalah mainan kanak-kanak belaka. Orang-orang itu berteriak-teriak dan mengacung-acungkan tombak serta obor. Benar saja, karena melihat api, burung itu tidak berani menyerang, hanya terbang mengitari mereka dari atas sambil memekik-mekik marah. Selama orang-orang itu berkumpul dan melindungi kepala dengan api, burung itu tidak berani apa-apa. "Hayo kita ke atas, kita bakar sarangnya!" teriak Kui Sam. Akan tetapi jalan pendakian ke atas batu karang itu amat sempit, hanya dua orang saja dapat bersama mendaki ke atas, itupun amat sukar. Kui Sam dan seorang lain lagi mendaki, akan tetapi baru kurang lebih tiga meter, burung rajawali itu menyambar dari atas. "Awas...!!" teriak mereka yang tinggal di bawah. Kui Sam dan temannya terkejut, cepat mengangkat obor di tangan kanan untuk melindungi kepala sedangkan tangan kiri memegang batu karang yang menonjol. Bahkan Kui Sam menggerakkan tombak untuk menusuk ketika bayangan hitam itu menyambar. Akan tetapi, kibasan sayap yang besar dan amat kuat sekaligus memadamkan dua buah obor, mematahkan tombak dan membuat kedua orang itu terlempar jatuh ke bawah! Baiknya teman-teman di bawah segera menerima tubuh mereka dan yang tertimpa ikut roboh bergulingan. Biarpun babak-belur, namun mereka selamat. Kembali burung itu menyambar, akan tetapi sambil memekik marah ia terbang ke atas kembali setelah semua orang menyatukan obor dan mengacung-acungkan ke atas. "Dia takut api dan tidak berani menyerang kita!" kata Kui Sam yang masih merasa mendongkol. "Akan tetapi mana bisa kita mendaki bersama? Paling banyak hanya dua orang yang bisa mendaki bersama, dan hal itu berbahaya. Menghadapi dua obor saja ia tidak takut!" kata yang lain. "Kita gunakan panah api! Kita ikatkan benda bernyala di ujung anak panah dan kita panahkan ke bagian atas. Agaknya sarang itu berada di puncak, dalam sebuah gua," kata Kui Sam. "Lihat itu...!" tiba-tiba Bu Song berkata. Pemuda ini sejak tadi menonton dan tidak ikut-ikut membawa obor. Ia merasa kagum bukan main menyaksikan gerakan dan sepak terjang burung rajawali hitam itu. ketika melihat penuh perhatian ke arah puncak karang, ia tiba-tiba melihat tiga buah kepala burung muncul, tiga buah kepala burung yang lucu sekali karena tidak berbulu, matanya melotot. Semua orang berdongak memandang. "Itu anak-anaknya. Kita serang dengan anak panah...!" kata Kui Sam. Lebih mudah dikatakan daripada dilakukan usul ini, karena selain terlindung batu karang yang menonjol, juga semua anak panah disapu habis oleh rajawali hitam yang melindungi anak-anaknya. Bahkan terjadi ribut dan gempar ketika seorang di antara mereka tertusuk anak panah yang runtuh dari atas, tepat mengenai daun telinganya sehingga robek. Tiba-tiba Bu Song meloncat dari tempat duduknya. Ia sejak tadi memperhatikan anak-anak burung itu dan melihat betapa seekor di antara mereka agaknya tertarik oleh ribut-ribut di bawah, entah tertarik entah ketakutan, akan tetapi anak burung yang seekor ini bergerak-gerak makin ke pinggir. Ia sudah khawatir sekali, maka begitu melihat anak burung itu tergelincir keluar dan jatuh ke bawah, ia sudah melompat dan menerima burung kecil itu dengan kedua tangannya! Dari bawah burung itu kelihatan kecil, akan tetapi setelah ia terima dengan tangannya, ternyata sebesar bebek! "Saudara-saudara, harap mundur. Tak baik rebut-ribut ini dilanjutkan!" Bu Song berkata dengan suara keras. Entah suaranya yang berwibawa, entah mereka menganggap ia seorang pendekar murid Kim-mo Taisu, akan tetapi semua orang berhenti memanah dan mengundurkan diri, memandang kepada Bu Song yang memegang anak burung itu ditanggannya. "Sekarang aku mengerti." Kata Bu Song. "Rajawali itu mencuri kambing untuk memelihara anak-anaknya. Kalau anak-anaknya sudah pandai terbang, tentu mereka akan pergi meninggalkan tempat ini, karena asal mereka bukan di sini." Anak burung itu bercicit di tangan Bu Song dan induk burung beterbangan di atas, memekik-mekik dan menyambar-nyambar ke arah Bu Song, akan tetapi tidak menyerang pemuda itu karena Bu Song mengangkat anak burung itu di atas kepalanya. Kemudian dengan tenang pemuda itu lalu mendaki batu karang berbentuk menara itu, perlahan-lahan dan hati-hati ia mendaki ke atas. Burung rajawali hitam menyambar-nyambar lagi sambil memekik-mekik dan orang-orang di bawah sudah menahan napas melihat betapa burung besar itu menyambar ke arah Bu Song. Namun, burung itu tidak menyerang. Agaknya melihat pemuda itu memegangi anaknya sambil mendaki dan tidak membawa api yang ditakuti, burung itu dapat mengerti niat orang menolong anaknya. Setelah tiba di puncak, Bu Song melihat sebuah gua yang besar. Kiranya di dalam gua itulah sarang si Rajawali, karena lubang itu penuh dengan rumput kering. Ia menaruh anak burung itu di dekat dua saudaranya, dua ekor burung kecil yang serupa dan yang memandang Bu Song dengan mata melotot-lotot lucu. Bu Song tertawa dan mengelus-elus kepala mereka. Tiba-tiba matanya tertarik oleh serumpuk benda putih kekuningan di pinggir sarang, benda seperti agar-agar kering. Ia teringat akan cerita suhunya tentang khasiat liur burung yang sudah kering dalam sarang burung wallet, maka tanpa ragu-ragu ia lalu mengambil setumpuk setumpuk benda itu, kemudian turun lagi ke bawah. Burung rajawali itu mengeluarkan suara aneh terbang berputaran mengelilingi tempat itu dan matanya selalu melirik ke arah Bu Song. Sama sekali ia tidak mengganggu Bu Song yang mendaki turun. Setibanya di bawah, orang-orang menyambut Bu Song dengan kening berkerut. Mereka merasa tidak puas karena belum berhasil membasmi musuh, malah pemuda dari puncak Min-san ini seakan-akan berpihak kepada musuh! Bu Song seorang pemuda yang luas pandangan cerdik. Ia maklum akan isi hati orang-orang itu, maka ia segera berkata, "Saudara-saudara, maafkan pendapatku ini. Akan tetapi burung rajawali hitam itu tidaklah jahat. Buktinya, ia tidak pernah membunuh manusia untuk dijadikan mangsanya. Ia menyerang manusia sekarang ini hanya karena kita yang lebih dahulu mengganggunya. Maka tidak perlu kita memusuhinya." "Akan tetapi, dia sudah menghabiskan sepuluh ekor kambing kami!" bantah seorang. "Kalau tidak dibunuh, tentu akan menghabiskan lebih banyak lagi!" sambung orang ke dua. "Tidak, asal dijaga baik-baik," kata pula Bu Song. "Kambing-kambing yang sudah diterkamnya, biarlah kelak aku yang menggantinya, kutukar dengan akar-akar obat. Selanjutnya, jika kalian menggembala domba, supaya mempersiapkan obor. Begitu dia muncul, kalian menyerang. Dengan cara begini, burung yang lapar itu tentu akan mencari binatang lain dalam hutan. Lebih aman begini daripada harus bermusuh melawan burung ajaib yang amat berbahaya itu. untuk apa mengorbankan nyawa manusia kalau jalan lain dapat ditempuh?" Akhirnya semua orang itu setuju dengan pendapat Bu Song dan pemuda ini dengan hati girang pulang ke puncak membawa liur ilar kering burung rajawali hitam. *** Sudah terlalu lama kita meninggalkan Kam Si Ek, bekas suami Liu Lu Sian, bekas Jenderal Hou-han yang gagah perkasa. Seperti telah diceritakan di bagian depan, semenjak ditinggalkan isterinya, Kam Si Ek hidup menduda di samping puteranya, Kam Bu Song, selama tiga tahun. Kemudian ia menikah lagi dengan Ciu Bwee Hwa, puteri seorang sastrawan bernama Ciu Kwan yang tinggal di Ting-chun. Peristiwa ini menekan perasaan Bu Song yang lalu minggat meninggalkan rumah ayahnya. Tentu saja kepergian puteranya itu menyedihkan hati Kam Si Ek yang melakukan segala usaha untuk mencari puteranya, namun sia-sia belaka. Baru setelah istrinya melahirkan anak, kesedihan Kam Si Ek yang kehilangan Bu Song agak mereda, sungguhpun ia masih senantiasa teringat dan berusaha mencari puteranya yang sulung itu. Jenderal Kam Si Ek adalah seorang panglima yang setia dan mentaati perintah atasan. Biarpun ilmu silatnya tidak amat hebat, namun kepandaiannya mengatur barisan, menggunakan siasat perang, terkenal sekali. Dengan siasatnya yang cerdik, Jenderal Kam Si Ek sanggup menghadapi musuh yang jauh lebih besar bala tentaranya. Berkat kepandaiannya mengatur bala tentara inilah maka Hou-han menjadi kuat sekali dan biarpun berkali-kali musuh, terutama pasukan-pasukan Khitan, berusaha menyerbu, selalu dapat dipukul hancur dan digagalkan. Nama Jenderal kam Si Ek terkenal sampai di luar daerah, sampai di Khitan dan di kerajaan-kerajaan lain yang pernah memusuhi Hou-han. Akan tetapi hati Kam Si Ek makin lama makin bercuriga terhadapi Gubernur Li Ko Yung di Shan-si, yang ia anggap seorang yang setia kepada kerajaan dan seorang pejabat tinggi yang tidak mempunyai ambisi pribadi. Kemudian ia dapat tahu bahwa Gubernur Shan-si ini mempunyai cita-cita untuk membangun kerajaan sendiri di Shan-si, apalagi setelah Kerajaan Tang makin lemah. Kam Si Ek mendengar bahwa Gurbernur Li ini ikut pula membantu dan bersekutu dengan pemberontak! Pada saat itu juga Kam Si Ek sudah mengambil keputusan untuk mengundurkan diri, akan tetapi pada hari ia hendak mengirim surat permohonan berhentinya kepada gubernur, tiba-tiba Shan-si diserang oleh gelombang pasukan Khitan yang amat besar. Biarpun Kam Si Ek sudah tidak suka untuk mengabdi kepada Gubernur Li Ko Yung yang mengkhianati Kerajaan Tang, namun Kam Si Ek masih mengingat akan nasib rakyatnya. Maka ia cepat-cepat mengenakan pakaian perang, membantah cegahan isterinya yang menggendong puterinya yang baru berusia empat tahun. Kini Ciu Bwee Hwa telah mempunyai dua orang anak, yang pertama laki-laki berusia enam tahun diberi nama Kam Bu Sin, yang ke dua perempuan yang digendong itu bernama Kam Sian Eng. "Bukankah sudah bulat keputusanmu hendak meninggalkan Shan-si dan kita mengundurkan diri ke gunung? Mengapa sekarang kau hendak maju perang lagi?" Antara lain isterinya memperingatkan. "Bala tentara Khitan yang menyerbu kali ini amat besar dan kuat. Aku maju bukan untuk membela Gubernur Li, melainkan untuk mencegah bangsa Khitan merusak kota-kota dan membunuhi rakyat. Biarlah kali ini menjadi tugas terakhir bagiku. Kau tenanglah dan jaga baik-baik kedua orang anak kita, isteriku." Kemudian berangkatlah Kam Si Ek. Ia memimpin barisan memotong jalan yang akan dilalui bala tentara Khitan yang datang menyerang bagaikan gelombang. Dengan siasat memecah-mecah barisan dan membuat jebakan-jebakan dan perangkap, akhirnya ia berhasil memotong barisan musuh menjadi beberapa bagian terpisah, lalu pasukan-pasukannya yang terlatih baik itu menyerbu dari tempat-tempat sembunyi mereka, perama-tama menggunakan panah-panah api untuk mengacaukan bala tentara Khitan yang sudah terpotong itu, kemudian mengurung mereka yang sudah terputus dengan bagian perlengkapan dan setelah mereka menjadi lemah keadaannya, barulah pasukan-pasukan ini menyerbu! Seperti telah kita ketahui, pada waktu itu, Raja Kulukan, ayah puteri Tayami telah meninggal dunia dan kedudukan Raja Khitan berada di tangan Kubakan, kakak tiri Tayami. Setelah Kubakan menjadi Raja Khitan, ia mengerahkan pasukannya untuk menyerang ke selatan dan ke timur. Pasukan-pasukannya ganas dan kuat, dibantu panglima-panglima yang kosen. Hanyalah karena maklum bahwa banyak panglima tua masih setia kepada Puteri Tayami, maka Raja Kubakan bersikap baik terhadap Tayami. Akan tetapi, kebaikan ini hanya lahiriah belaka, sebetulnya di dalam hati ia amat membenci Tayami yang tidak membalas cintanya. Apalagi Raja Kubakan juga tahu bahwa sewaktu-waktu dapat goyah. Ia mencari kesempatan untuk melenyapkan saingan ini. Tayami telah menikah dengan Salinga, seorang panglima muda, perajurit perkasa dari Khitan. Mereka berdua hidup bahagia, saling mencinta dan setahun kemudian mereka dikaruniai seorang puteri yang mungil dan sehat, dan yang mereka beri nama Puteri Yalina. Makin bahagialah kehidupan mereka dan biarpun bekas puteri mahkota ini tidak menggantikan kedudukan mendiang ayahnya menjadi raja, melainkan diganti oleh kakak tirinya, Kubakan, namun hati puteri ini tidaklah merasa penasaran. Ia merasa cukup berbahagia di samping suaminya yang mencinta dan puterinya yang mungil. Kurang lebih dua tahun kemudian sejak Puteri Tayami melahirkan puterinya, terjadilah penyerbuan besar-besaran terhadap Shan-si digerakkan oleh Raja Kubakan. Dalam operasi ini, Raja Kubakan memerintahkan kepada Panglima Salinga, suami Tayami, untuk memimpin pasukan. Sebagai seorang perajurit yang bertugas membela negaranya, tentu saja Salinga tidak berani membantah dan siap-siap berangkat. Akan tetapi isterinya merasa khawatir dan berkata, "Suamiku, selama ini tugasmu menjaga keselamatan kerajaan di sini. Sekarang Raja memerintahmu untuk memimpin pasukan menyerang Shan-si. Serbuan ini besar-besaran dan mati-matian, apalagi kalau diingat bahwa di Shan-si terdapat Jenderal Kam Si Ek yang amat pandai sehingga penyerbuan ini amat berbahaya. Aku merasa tidak enak dan curiga, oleh karena itu, aku harus ikut." "Ah, mengapa harus ikut? Kau seorang wanita dan tugasmu menanti di rumah..." "Biar seorang wanita, sejak dahulu aku sudah biasa ikut mendiang Ayah melakukan perang. Pula, aku seorang puteri, sudah menjadi tugasku pula menyertai pasukan kita melawan musuh." "Benar, isteriku. Akan tetapi kau harus ingat Yalina yang masih kecil." "Dia anak kita, anak orang-orang perangan. Usianya sudah dua tahun lebih. Pula, aku hanya mengantar dan berada di barisan belakang. Aku hanya ingin menyaksikan sendiri bahwa tidak ada sesuatu di balik perintah penyerbuan ini, suamiku." Karena tidak dapat ditentang, akhirnya Puteri Tayami berangkat juga bersama barisan yang dipimpin suaminya. Dengan gagah Puteri Tayami naik kuda di samping suaminya sambil menggendong puterinya yang berusia dua tahun lebih. Anggota pasukan menjadi besar hati menyaksikan betapa puteri yang gagah perkasa ini menyertai suaminya. Demikianlah, terjadi perang hebat melawan bala tentara yang dipimpin Kam Si Ek. Dan seperti telah disebutkan tadi, Kam Si EK mengatur siasat memecah-mecah barisan Khitan, memasang jebakan dan menyerbu dengan tiba-tiba sehingga barisan Khitan menjadi kocar-kacir. Pasukan-pasukan Khitan terdiri orang-orang gagah dan pandai perang, akan tetapi menghadapi siasat Jenderal Kam Si Ek, mereka tidak berdaya dan kacau-balau. Banyak orang Khitan tewas terkena panah gelap. Dalam keadaan terkurung dan terjebak, Panglima Salinga tewas dalam pertempuran. Berita ini segera sampai di telinga Puteri Tayami yang berada di barisan belakang dan sudah terputus hubungannya. Puteri Tayami menjadi kaget dan berduka sekali, juga marah. Cepat ia melompat ke atas seekor kuda, menggendong puterinya dan dengan pedang di tangan, puteri yang perkasa ini lalu terjun ke dalam kancah perang, mengamuk secara hebat. Pedangnya merobohkan banyak lawan. Keinginan sampai dapat bertemu dengan Jenderal Kam Si Ek yang memimpin sendiri barisannya dan jika berhasil membunuh pimpinan lawan ini hatinya akan puas. Pedang Besi Kuning di tangannya adalah pusaka Khitan yang ampuh sekali. Setiap senjata lawan yang bertemu dengan pedangnya ini tentu akan patah dan bagaikan seekor naga betina puteri ini mengamuk terus. Akhirnya ia berhasil mendekati tempat Jenderal Kam mengatur siasat dan memimpin pasukannya. Semangat dan kegagahan Puteri Tayami ini menarik dan membangkitkan kembali semangat para pasukan Khitan sehingga dalam waktu singkat banyak pula pasukan Khitan yang ikut menyerbu di belakangnya dan sampai pula ke tempat itu. pertempuran menjadi makin hebat dan melihat kegaduhan ini Jenderal Kam Si Ek terkejut. Seorang pembantunya lalu melaporkan bahwa sepasukan musuh yang dipimpin seorang wanita Khitan menyerbu dengan nekat dan berhasil menghacurkan kepungan. Jendral Kam meloncat ke atas kudanya dan segera memimpin pasukan pengawal untuk membantu pertahanan menghadapi amukan pasukan musuh yang menurut laporan amat berani dan kuat itu. Dari tempat agak jauh dan tinggi ia memeriksa keadaan, lalu memberi perintah pengepungan, memberi isyarat kepada pasukannya untuk mundur dan bersembunyi, kemudian dari empat penjuru pasukannya menghujani pasukan musuh yang mengamuk itu dengan anak panah! Dalam keadaan dihujani anak panah itulah tiba-tiba Puteri Tayami Roboh dari atas kudanya, bukan terkena anak panah musuh, melainkan terkena anak panah yang dilepas dari belakang, dari dalam pasukannya sendiri! mengapa begitu? Kiranya dari sejak mula, Raja Kubakan sudah mengirim orangnya untuk menggunakan kesempatan ini membunuh Salinga dan Tayami! Salinga tewas dalam perang, tinggal Puteri Tayami. Namun pembunuh itu tidak mendapatkan kesempatan melaksanakan tugasnya yang jahat dan berat, karena tentu saja selain hendak mentaati perintah raja dan mengharapkan hadiahnya, ia pun ingin menyelamatkan diri sendiri sehingga tugas itu dapat ia lakukan tanpa membahayakan nyawanya sendiri. puteri Tayami adalah seorang wanita kosen, tidak mudah dibunuh begitu saja. Selain itu, apabila ketahuan para panglima bahwa dia membunuh Tayami, tentu ia pun tidak akan selamat! Maka kini melihat puteri itu mengamuk, ia pun lalu masuk ke dalam pasukan yang mengikuti jejak puteri perkasa ini. Dalam keadaan kacau-balau karena terjebak dan dihujani anak panah inilah, ia mendapat kesempatan baik sekali. Teman-temannya dalam pasukan juga membalas musuh dengan anak panah. Melihat betapa Puteri Tayami melindungi diri sendiri dan puterinya dengan memutar pedang bersinar kuning di depannya, pembunuh ini lalu menarik gendewa dan mengirim pula anak panahnya, bukan kepada musuh melainkan tepat ke arah Puteri Tayami! Tak seorang pun mengetahui bahwa dialah yang menewaskan Puteri Tayami. Semua mengira bahwa Sang Puteri menjadi korban anak panah musuh! Robohnya Tayami ini tak dapat disangkal lagi malah menyelamatkan nyawa puteri dalam gendongannya. Setelah ia roboh, puteri memeluk puterinya, melindunginya dengan tubuh dan dengan Pedang Besi Kuning. Robohnya puteri ini mengagetkan pasukan Khitan, apalagi karena selain Sang Puteri, banyak pula anggota pasukan roboh terkena anak panah. Mereka menjadi agak panik dan kacau, sungguhpun mereka tidak takut. Melihat musuh bergerak kacau-balau, Jenderal Kam Si Ek memberi aba-aba dan menyerbulah barisannya dari depan dan kanan kiri. Terjadilah perang mati-matian dan Jenderal Kam Si Ek yang sejak tadi memperhatikan dari tempat tinggi dan kagum melihat gerakan Puteri Tayami yang disangkanya seorang perajurit wanita biasa, lalu mengeprak kudanya, memainkan goloknya ikut menyerbu musuh. Ia mengerahkan kudanya ke tengah lapangan mendekati tempat perajurit wanita tadi roboh. Alangkah kaget, kagum dan terharunya ketika ia melihat seorang wanita cantik jelita menggeletak miring dalam keadaan tak bernyawa lagi, akan tetapi tangan kanannya masih erat-erat memegang sebatang pedang bersinar kuning dan tangan kiri memeluk seorang anak perempuan kecil yang menangis sesenggukan! Ia merasa heran sekali mengapa seorang perajurit wanita ikut perang membawa anaknya, namun kekaguman dan keharuan hatinya membuat ia cepat-cepat meloncat turun dari atas kuda dan mengambil pula pedang bersinar kuning yang berada di tangan kanan mayat si wanita. Tak pernah ia mimpi bahwa yang ditolongnya adalah puteri keturunan aseli Raja Khitan, dan bahwa perajurit wanita itu adalah Puteri Mahkota! Karena siasat dan kecerdikan Jenderal Kam Si Ek, sebentar saja pasukan Khitan yang menyerbu Shan-si dapat dipukul hancur dan sisanya lari cerai-berai kembali ke Khitan. Jenderal Kam Si Ek membuat laporan ke atasan, mengirim pula Pedang Besi Kuning sebagai barang rampasan, akan tetapi ia merahasiakan soal anak kecil itu dan dibawanya anak itu pulang. Isterinya girang sekali menyambutnya dan terheran-heran melihat suaminya pulang perang membawa seorang anak perempuan kecil yang cantik mungil! Kam Si Ek menceritakan keadaan anak itu dan terharulah hati isterinya. "Biar kita pelihara dia. Dia pantas menjadi adik Sian Eng." Kata isterinya sambil menimang-nimang anak itu. anak itu memang lincah dan tertawa-tawa manis. "Siapakah namamu, anak manis?" Berkali-kali Nyonya Kam bertanya. Anak itu adalah anak Khitan, tidak pandai bahasa asing ini, akan tetapi ia agaknya cerdik dan mengerti maksud orang, buktinya ia menuding dadanya sendiri dan berkata sambil tertawa-tawa, "Lin Lin..., Lin Lin...!" "Ah, agaknya ia bernama Lin!" kata Nyonya kam gembira. "nak baik, mulai sekarangkau adalah anak kami dan bernama Kam Lin!" Seperti telah direncanakannya semula, Kam Si Ek yang melihat gelagat tidak baik dengan sikap Gubernur Li yang agaknya hendak mendirikan kerajaan sendiri, lalu mengajukan permohonan berhenti. Mengingat jasa-jasanya, maka permohonannya dikabulkan dan berangkatlah Kam Si Ek dengan isteri dan tiga orang anaknya, termasuk Kam Lin, ke dusun Ting-chun di kaki bukit Cin-ling-san. Di lembah Sungai Han yang tanahnya subur ini, ia hidup bertani dengan aman dan tentram.*** "Ayah, biarkan aku ikut denganmu. Kalau Ayah hendak mencari musuh-musuh yang telah membunuh ibu dan membasmi keluarga ibu, sudah menjadi tugasku pula untuk membantumu, ayah!" Dengan suara merengek Kwee Eng membujuk ayahnya. Mereka duduk di bawah pohon besar, tak jauh dari pondok mereka. "Tidak bisa, Eng-ji Anak Eng. Musuh-musuh itu terlalu sakti, aku sendiri belum tentu dapat melawan dan menangkan mereka, apalagi engkau. membawamu berarti membiarkan engkau terancam bahaya maut." "Aku tidak takut! Bukankah Ayah sering menyatakan bahwa bagi seorang gagah, maut bukanlah apa-apa? Nama baik lebih penting daripada maut!" Kwee Seng atau Kim-mo Taisu mengelus rambut anaknya. "Betul sekali dan karena itulah maka aku harus pergi menunaikan tugas, sedangkan engkau harus berada di sini. Engkau sudah dewasa dan untuk menjaga nama baik keluarga kita, terutama nama baikmu, engkau harus berumah tangga." "Ayah...!!" Tiba-tiba sepasang pipi gadis itu menjadi merah sekali dan sepasang matanya terbelalak seperti mata seekor kelinci berhadapan dengan harimau. Kim-mo Taisu dan menepuk pundak anaknya. "Mengapa kau merasa ngeri? Sudah semestinya seorang gadis menghadapi pernikahan. Bu Song seorang anak yang baik, dan aku yakin kau akan hidup bahagia sebagai isterinya." Tiba-tiba Eng Eng menundukkan mukanya yang menjadi makin merah, tidak berani ia menentang pandang mata ayahnya. Kim-mo Taisu mengangguk-angguk dan tersenyum gembira. "Inilah sebabnya mengapa aku hendak menyuruh Bu Song mengikuti ujian di kota raja. Dia anak baik dan soal perjodohan ini sudah kubicarakan dengannya. Kau tahu, Eng Eng. Bu Song sejak dahulu tidak suka belajar ilmu silat sungguhpun aku belum pernah bertemu orang yang memiliki bakat dan tulang lebih baik daripadanya untuk menjadi pendekar. Dia lebih tekun dan suka belajar sastra. Dan dipikir-pikir memang betul dia. Buktinya ahli-ahli silat selalu hanya terlibat dengan permusuhan dan pertempuran belaka, seperti aku ini. Karena itu, dia harus menempuh ujian dan mencari kedudukan yang sesuai dengan kepintarannya. Setelah itu, baru kalian menikah dan kalau sudah begitu, hatiku tenteram dan kelak aku akan dapat mati meram." "Ayah..........!" Kembali Eng Eng memandang ayahnya, kali ini wajahnya agak pucat. "Ha-ha mengapa kaget? Orang hidup ke mana lagi akhirnya kalau tidak mati? Kepergianku kali ini tidak akan lama, Eng Eng. Ayahmu hanya akan pergi mencarikan tempat untuk Bu Song. Akan kuselidiki lebih dulu bagaimana keadaan kota raja sekarang ini dan bagaimana pula keadaan mereka yang menempuh ujian. Setelah aku kembali, baru Bu Song kusuruh berangkat. Selama Ayah pergi, kau hati-hatilah di sini bersama Bu Song."dwi

kho ping hoo suling emas pdf